Press "Enter" to skip to content

Bersama Bunga Menembus Perbatasan Mexico Meraih Mimpi di Amerika Serikat

Sebut saja namanya Bunga. Wanita berumur sekitar 20 tahun ini menjadi wanita pertama Indonesia yang berhasil masuk ke Amerika Serikat melalui perbatasan Mexico. Jalur Selatan yang dikenal cukup berbahaya dan penuh rintangan itu, dijalani selama sebulan mencapai negeri mimpi dan menjadi warga AS.

Berikut ini pengalamannya selama sebulan, yang dituturkan kepada Indonesianlantern.com

Perjalanan Bunga diawali dari Bandara Soekarno Hatta menuju Ankara, ibukota Turki dan melewati sejumlah negara Amerika Latin. Mulai dari Ecuador, Colombia, Panama, Honduras, Nicaragua, Guatemala dan terakhir Mexico.

Pelintas Batas Mexico dari China (CBS News)

Bunga bersama suami, adik dan dua anaknya, menjelajah Amerika Latin dengan pesawat dan bis. Hal itu sesuai dengan panduan para penyeberang perbatasan di sejumlah media sosial. Melewati gunung, ngarai, pegunungan dan hutan gambut.

Saat menyeberang ke Colombia mereka diantar ke perbatasan dengan taksi lokal yang disambung lagi dengan taksi Colombia menuju ke perumahan yang menampung puluhan pengungsi. Dari sana mereka ikut naik bis yang isinya sekitar 60 orang menuju ke sebuah kota di pesisir. ‘’Perjalanan itu butuh waktu 21 jam,’’ kata Bunga yang berdesakan dengan para penumpang lainnya.

Di kota itu mereka ditampung di sebuah kawasan yang dikelola UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees). Satu per satu antre untuk mendapatkan perlengkapan. Masing-masing mendapatkan alat penyaring air, popok bayi, obat oles, dan obat-obat lain termasuk Paracetamol. ‘’Kami juga dibekali tas ransel masing-masing untuk menghadapi cuaca buruk yang berlangsung selama 5 hari,’’ tutur Bunga.

Bunga bersama salah s
Bunga bersama seorang anaknya beristirahat di salah satu pemberhentian (Dokumentasi Bunga)

Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Bunga dan keluarga bergabung dengan sebuah keluarga asal Bangladesh. Mereka kemudian dikumpulkan jadi satu bersama rombongan grup lain untuk berjalan kaki ke perkampungan penduduk setempat melalui perbukitan dan ngarai. Selama satu hari penuh barulah mereka sampai ke penampungan pertama yang dihuni para imigran dari kelompok lain yang terdiri dari berbagai tenda. Fasilitas terbatas. Peturasan hanya dua, khusus untuk buang air saja. ‘’Kami mandi ya di sungai dekat sana,’’ kata Bunga.

Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke lokasi lain di Colombia dengan berjalan kaki. Tantangannya kali ini cukup berat karena kondisi tanahnya becek dan mengandung gambut sehingga susah untuk melangkah. Mereka sering terjebak ke dalam lumpur hingga butuh waktu beberapa menit untuk melangkah lagi.

Para pelintas batas negara lain (CBS News)

‘’Setiap hari kami bertemu dengan ratusan pengungsi yang sama-sama menempuh jalur itu,’’ kata Bunga. Mereka antara lain pengungsi Ekuador, Chili, Venezuela, India, Cina dan bangsa lain. ‘’Banyak di antara warga India yang mengenakan Sorban pakaian kaum Sikh,’’ lanjutnya. Terdengar suara mobil melintas di antara deburan ombak.

Sampailah mereka di sebuah penampungan yang berseberangan dengan perumahan adat setempat. Ada tenda-tenda besar yang terbagi dalam beberapa kelompok. Di perkampungan itu, hanya ada 1 warung yang dikelola warga setempat berjualan makanan dan minuman Coke, Sprite, air putih sabun dan peralatan lain. ‘’Sebotol minuman ringan seharga $ 4 (sekitar Rp 60 ribu).

Pos pengungsi di kandang sapi (Koleksi Bunga)

Setelah berjalan lagi sekitar 4 hari, mereka sampai ke perbatasan Kolombia dan Panama. Barulah di kawasan ini, mereka bertemu dengan pasukan militer Kolombia. Mereka tidak menghalangi para imigran itu, malah membantu mengarahkan imigran menemukan rute yang tepat.

Selama dua atau tiga hari barulah mereka sampai di Panama. Di perbatasan itu, mereka dimasukkan ke kamp militer untuk didata. Keluarga Bunga menyerahkan paspor sedangkan warga lain menyerahkan semacam kartu tanda penduduk masing-masing negara.

Bersembunyi di tepi sungai (Koleksi Bunga)

Truk-truk militer bergantian menggotong para imigran itu melintas perbatasan tanpa biaya. ‘’Di dekat sebuah kompleks militer di Panama, ada beberapa pedagang China yang berjualan makanan dan keperluan sehari-hari,’’ tutur Bunga yang merasa heran.

Dari Panama mereka melintasi jalan bebas hambatan menuju ke kantor UNHCR Panama. Tersedia beberapa fasilitas kesehatan, bis, mobil dan lainnya yang bersedia mengantar pengungsi dengan tarif antara US$ 10 sampai US$ 14 (sekitar kurang dari $ 3 juta).

Demikian juga saat melalui perbatasan Panama ke Costa Rica mereka bisa naik bis umum melewati jalan bebas hambatan. ‘’Seperti jalan toll di Jakarta,’’ tutur Bunga.

Barulah saat sampai di Honduras mereka didaftar di kantor imigrasi dan diberi surat perjalanan yang harus antre selama seminggu lamanya. ‘’Karena kami dari Indonesia, mereka bertanya lebih detail,’’ sambung Bunga. ‘’Mungkin karena Indonesia mayoritas agama islam, kami dianggap ada hubungan dengan kelompok teroris ISIS,’’ kata Bunga seraya menjelaskan, mereka ditahan bersama pendatang dari Pakistan, Afghanistan dan negara muslim lainnya.

Pelintas batas dari India (CBS News TV)

Setelah sampai di Nikaragua barulah mereka harus kucing-kucingan dengan polisi yang berpatroli di jalur-jalur jalan raya menuju ke perkebunan jeruk. Di perkebunan luas itulah mereka harus berjalan kaki selama 5 jam. Lebih-lebih saat berada di tepi sungai lebar, mereka harus bersembunyi menghindari kapal patroli yang lalu lalang,

Mereka sempat menginap di sebuah penginapan tanpa nama bersama 10 orang lain, dan dikenai biaya $ 40. Esok hari barulah mereka melanjutkan perjalanan sebuah bus ke perbatasan Guatemala. Di sana sudah menunggu sejumlah pemandu atau Coyote untuk melintasi Guatemala.

Dari ibukota Guatemala mereka melanjutkan perjalanan sampai ke perbatasan Mexico, lalu menginap di sebuah hotel di dekat perbatasan, dan lanjut ke San Pedro, Mexico. Di kota ini mereka didata di kantor imigrasi Mexico difoto dan ‘’Sempat ditahan selama dua hari karena dicurigai penyelundup dari China,’’ tutur Bunga.

Pelintas batas menyeberang sungai gunakan getek (Koleksi Bunga)

Setelah itu sampailah mereka melintasi Mexico dan sempat ditempatkan di kandang sapi. “Binatang peliharaannya digelandang di luar kandang dan kita yang diminta tidur di dalam. ‘’Kami sudah tidak mikir kotor atau tidak, karena sudah terlalu capek,’’ kata Bunga.

Di San Pedro, Mexico kami didata oleh petugas Imigrasi Mexico, dipotret. Paspor diberikan ke mereka dan setelah ditanya tujuan ke mana, mereka melepaskan kami sambil diberi surat pengantar. ‘’Kami juga sempat diperiksa telepon genggam kami dan dicurigai karena wajah Asia kami,’’ tutur Bunga. Setelah dijelaskan hendak ke AS, mereka pun bisa melanjutkan perjalanan dengan bus.

Sampailah mereka ke dekat dinding perbatasan antara Mexico dan AS. Setelah sempat menunggu beberapa menit, akhirnya tiba petugas patroli imigrasi AS. Mereka cukup ramah dan bertanya dari mana mereka. ‘’Saat kami jelaskan mereka malah bercerita pernah ke Bali,’’ tutur Bunga yang kaget atas keramahan petugas imigrasi AS itu.

Pendatang ilegal di perbatasan Selatan (Aljazeera teve)l

Mereka pun diangkut dengan minivan imigrasi dan diantar menuju ke Detention Center, tempat tahanan imigrasi di Texas. Seluruh pakaian dan bawaan diminta untuk dibuang. Tercatat ratusan atau ribuan penyeberang pagar pembatas Selatan itu. Lalu diminta mandi dan mengenakan pakaian ganti berwarna biru putih.

Di bangsal penampungan terdapat ratusan imigran asing yang melintas dari Selatan. Mereka beruntung karena mereka membawa dua anak kecil sehingga hanya ditahan selama 1 hari saja. Sementara pendatang lain ada yang sampai 3 bulan, bahkan pendatang dari China bisa ditahan selama 4 bulan. ‘’Banyak juga yang diborgol. Kira-kira ada 6 atau 7 orang,’’ tutur Bunga.

Pelintas Batas Mexico dari China (CBS News TV)

Setelah menjelaskan bahwa mereka akan ke terminal Los Angeles untuk selanjutnya ke salah satu keluarga di sebuah kota yang tak dapat disebutkan di sini, barulah mereka dibebaskan. Tapi masing-masing orang dewasa dibekali telepon genggam, dan diminta untuk memotret diri sendiri disertai keterangan mereka berada di mana dan dikirim ke petugas. Setelah sampai di kantor di sebuah kota besar di AS, mereka baru bisa menyerahkan telepon genggam tadi ke kantor imigrasi. Mereka pun bebas ke manapun.

Rombongan Bunga yang terdiri 5 jiwa itu, mengajukan suaka politik dari China dengan alasan kebebasan beragama. Kebetulan suaminya adalah warga China. Total biaya seluruh perjalanan menelan biaya sekitar $ 50 ribu.

Kini Bunga belajar mengemudi karena hendak menjalani profesi sebagai pengemudi pengantar makanan. Suaminya lebih dahulu bekerja sebagai tukang masak di sebuah restoran China, dan kini menjadi pengemudi truk antar negara bagian dengan gaji lumayan. (DP)

Be First to Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mission News Theme by Compete Themes.