Tiga kasus penangkapan yang dilakukan oleh lembaga imigrasi Amerika Serikat (ICE) dalam beberapa bulan terakhir kembali mengguncang komunitas Indonesia di Philadelphia. Dua di antaranya adalah warga negara Indonesia (WNI), sementara satu lainnya warga negara Bangladesh yang beristrikan WNI. Ketiganya kini menghadapi ketidakpastian hukum dan ancaman perpisahan dari keluarga mereka yang telah lama menetap di Amerika Serikat.

R: Ditangkap Saat Janji Temu Rutin
Pada 16 Oktober 2025, R, seorang ayah dan suami yang telah tinggal di Philadelphia lebih dari 20 tahun, ditangkap oleh petugas ICE saat menghadiri janji temu biometrik rutin. Tanpa pemberitahuan sebelumnya dan tanpa akses penerjemah, ia langsung dibawa dan kini ditahan di Philadelphia Federal Detention Center.
R dikenal sebagai sosok penyayang dan aktif di komunitas. Ia memiliki dua anak, K (15) dan Z (8), yang kini berjuang bersama sang ibu, A, untuk membebaskan suami dan ayah mereka.
Dalam sebuah pernyataan yang menyentuh, K menulis:
“Setiap tawa, setiap kunjungan rumah sakit, setiap ‘I love you’ dirampas dari saya oleh orang-orang yang lebih menghargai uang daripada moralitas, dan kekuasaan daripada belas kasih.”
Keluarga R menghadapi ketidakpastian berapa lama proses hukum ini akan berlangsung. Banyak keluarga imigran lain mengalami penahanan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelum mendapatkan keputusan. Komunitas Indonesia di Philadelphia pun berupaya menggalang bantuan moral dan finansial bagi keluarga R agar mereka tidak berjuang sendirian.
M: Ditangkap di Tengah Upaya Mencari Suaka
Kasus kedua menimpa M, seorang pria Indonesia yang juga bagian dari komunitas Philadelphia. Ia ditangkap oleh ICE pada 17 Oktober 2025. Dalam unggahan yang beredar di media sosial, anggota komunitas Indonesia menyerukan solidaritas dan dukungan finansial untuk membantu M dan istrinya, Y, yang kini menghadapi kesulitan ekonomi akibat penahanan tersebut.
Unggahan tersebut juga mengajak komunitas untuk mengirimkan donasi melalui Zelle kepada seorang anggota komunitas bernama SC, atas sepengetahuan Y.
Pesan yang beredar menekankan pentingnya saling membantu sesama warga Indonesia di perantauan yang menghadapi tekanan hukum dan ekonomi karena kebijakan imigrasi yang semakin ketat.
Kasus WN Bangladesh yang Beristrikan WNI
Kasus ketiga melibatkan seorang pria berkewarganegaraan Bangladesh, S, yang memiliki istri WNI berinisial U dan seorang anak berusia 5 tahun. Ia ditangkap pada 3 Juli 2025, saat tengah mengurus proses asylum bersama pengacaranya di kantor imigrasi.
Menurut laporan istrinya, penangkapan itu terjadi di depan mata sang anak dan pengacara. Sang pengacara sendiri mengaku tidak bisa berbuat banyak karena proses hukum sepenuhnya bergantung pada kebijakan ICE. Padahal, sidang kasus asylum tersebut baru dijadwalkan untuk tahun 2027.
U kini terus berupaya agar suaminya bisa dibebaskan atau dipulangkan, namun hingga kini ICE belum memberikan izin atau kejelasan status.

Seruan untuk Solidaritas dan Reformasi Kemanusiaan
Ketiga kasus ini mencerminkan tantangan yang dihadapi para imigran, khususnya komunitas Indonesia dan Asia Selatan di Amerika Serikat, yang sering kali terjebak dalam sistem hukum imigrasi yang panjang dan tidak manusiawi.
Bagi komunitas Indonesia di Philadelphia, tragedi ini menjadi pengingat pentingnya persatuan, kepedulian, dan dukungan lintas komunitas. Sejumlah tokoh diaspora dan organisasi masyarakat kini tengah berkoordinasi untuk memberikan dukungan hukum dan kemanusiaan kepada keluarga yang terdampak.
“Kita tidak boleh diam melihat keluarga kita dipisahkan. Ini bukan hanya soal hukum, tetapi soal kemanusiaan,” ujar salah satu anggota komunitas.

Menanggapi penangkapan yang terjadi atas dua orang WNI, seorang pejabat Kementerian Luar Negeri RI mengatakan pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia yang ditangkap dan berpotensi dideportasi. “Kami telah menerima aspirasi dan kekhawatiran komunitas Indonesia di Philadelphia terkait penangkapan beberapa WNI oleh otoritas imigrasi AS. KBRI Washington D.C. bersama KJRI New York akan terus melakukan pemantauan dan memberikan pendampingan konsuler sesuai kewenangan yang berlaku, serta berkoordinasi dengan pihak terkait untuk memastikan hak-hak para WNI tetap terlindungi.”, ujarnya.
Ketiga kasus di atas menjadi cerminan kompleksitas sistem imigrasi AS yang masih menyisakan banyak ruang untuk perbaikan dari sisi kemanusiaan dan keadilan.
