Categories: PoliticsUncategorized

Aksi protes kaum hawa digelar di Washington DC, Sabtu 21 Januari 2017

Sekitar 200 ribu kaum ibu dan perempuan AS bertekad menggelar aksi demonstrasi menentang pelantikan Donald Trump menjadi Presiden AS ke-45, Sabtu (21/1/2017).

Majalah Time mengabarkan, kaum hawa merasa perlu melakukan aksi itu, karena Donald Trump dianggap melecehkan kaum hawa dengan ucapannya yang seronok selama kampanye. Termasuk di antaranya melecehkan Megyn Kelly, wartawati Fox yang kini dikabarkan dibajak stasiun televisi NBC dengan bayaran lebih dari $ 21 juta, setahun.

Ribuan kaum hawa AS tergerak ikut demo, berkat imbauan yang disiarkan ‘Call Your Girlfriend’ lewat podcast, oleh Beth Pickens. Nama terakhir ini adalah aktivis wanita dan penulis buku Making Art of Fascism. ‘’Yang terpenting, berpikir bagaimana kita bereaksi bila kita berada di bawah ancaman. Juga bagaimana kita membantu seseorang yang lebih lemah,’’ kata Pickens.

Seperti dituturkan Carmen Perez, salah satu penggagas demo itu, tujuan utama aksi itu merebut momentum dalam peristiwa pelantikan presiden tersebut. ‘’Ini baru langkah awal dari sesuatu yang lebih besar lagi. Kelak akan ada sesuatu yang lebih besar setelah aksi demo ini. Kami tengah mempersiapkan hal itu,’’ kata Carmen Perez.

Aksi tersebut dimanfaatkan oleh para pembuat topi ‘Pussyhat’. Topi rajutan yang dikerjakan oleh sekelompok ibu itu berharap akan dikenakan para perempuan AS yang ikut aksi protes. ‘’Merajut bersama-sama di antara kaum wanita, sambil menggosip, sangat asyik,’’ kata Krista Suh dan Jayna Zweiman dalam pernyataannya menjelaskan proyek yang dinamai Revolusi Merajut Bareng.

 

Sejak dilansir November silam, topi rajutan ‘Pussyhat’ menerima pesanan dari Inggris, Austria dan Jepang. Pussyhat digunakan kaum hawa AS untuk melawan Trump yang pernah mengeluarkan pernyataan kontroversial. ‘’Jika anda berkuasa, anda bisa berbuat apa saja pada wanita. Termasuk merogoh anunya’’ kata Trump pada 2005 lalu.

Revolusi Merajut Bareng atau Revolutionary Knitting Circle dikenal di Canada tahun 2002, saat sekelompok pemrotes mengenakan topi rajutan untuk menentang pertemuan G-8. Di Australia juga memiliki gerakan Knitting Nannas yang memprotes masalah lingkungan. Demikian juga di Inggris. Yang unik berlangsung di Chile. Proyek Hombres tejedores (kaum lelaki merajut) itu menjadi kegemaran dan hobi baru. (DP)

.

Recent Posts

Tiga Penangkapan ICE Guncang Komunitas Indonesia di Philadelphia

Tiga kasus penangkapan yang dilakukan oleh lembaga imigrasi Amerika Serikat (ICE) dalam beberapa bulan terakhir…

1 day ago

Dialog Pemerintah RI dengan WNI dan Diaspora di Philadelphia

Masyarakat Indonesia di Philadelphia menghadiri pertemuan bersama pejabat pemerintah Republik Indonesia yang digelar di PAX…

1 week ago

Imam Prasodjo dan Ikhtiar Menjaga DAS Serayu

Di tengah kabut Telaga Dringo, Dieng, Imam Budidarmawan Prasodjo (65) tampak bersemangat menanam pohon bersama…

3 weeks ago

Riyan Pondaga Persembahkan Konser Bersama Modero & Company

Modero & Company mempersembahkan Wonderworks, seri acara komunitas perdana yang dibuka dengan konser intim bertajuk…

3 weeks ago

Pemerintah RI: Golden Visa Hasilkan Rp 48 Triliun Investasi Asing

Indonesia telah menarik investasi sebesar Rp 48 triliun (sekitar US$2,86 miliar) melalui program Golden Visa,…

4 weeks ago

Memory of Indonesia: Lawan Alzheimer Lewat Budaya dan Musik

Ratusan diaspora Indonesia lintas organisasi dan generasi berkumpul dalam acara tahunan Memory of Indonesia, Sabtu…

2 months ago