Sesi sharing Caregiver’s journey. Dari kiri-kanan: Vonny Oei, Ake Pangestuti (Ketua ALZI San Francisco), Debora Nainggolan
Ratusan diaspora Indonesia lintas organisasi dan generasi berkumpul dalam acara tahunan Memory of Indonesia, Sabtu (6/9). Kegiatan yang digelar di San Francisco ini bukan sekadar ajang silaturahmi, tetapi juga aksi nyata untuk mendukung Alzheimer’s Indonesia (ALZI) dengan menggalang dana hingga puluhan juta rupiah.
Tahun ini, acara dipersembahkan oleh ALZI San Francisco (Alzheimer’s Indonesia SF) berkolaborasi dengan Persatuan Sahabat Indonesia (PSI), bertepatan dengan peringatan Bulan Alzheimer Sedunia 2025—kampanye global untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang demensia Alzheimer.
Konsul Jenderal RI San Francisco, Yohpy Ichsan Wardana, membuka acara dengan menekankan bahwa diplomasi perlindungan WNI mencakup dimensi fisik, mental, dan sosial.
“Acara ini adalah bagian dari usaha kita untuk menggunakan segala kesempatan untuk melatih otak kita agar berfungsi dengan baik,” ujarnya.
Acara ini menghadirkan dr. Pia Marthakusuma BSN, RN yang membahas 10 tanda awal demensia Alzheimer. Edukasi tersebut diperkaya dengan kisah nyata dari dua diaspora Indonesia, Debora Nainggolan dan Vonny Oei, yang membagikan pengalaman mereka sebagai long-distance caregiver.
Debora mengenang ibunya yang mulai menunjukkan gejala sejak 2011: sering bingung lokasi, sulit fokus, menaruh barang sembarangan, hingga perubahan kepribadian.
“Jika saya ingat-ingat kembali, tanda-tanda Alzheimer sudah terlihat sejak lama,” ujarnya.
Vonny pun bercerita hal serupa. Ibunya yang awalnya masih memiliki ingatan tajam mulai mengalami kesulitan komunikasi dan perubahan perilaku. Pada Januari 2025, sang mama resmi terdiagnosis demensia Alzheimer.
“Waktu itu baru benar-benar terasa ada yang berbeda. Rasanya haru sekaligus berat,” ungkapnya.
Selain edukasi medis, acara juga menghadirkan Surjanto Suradji dari komunitas Gowes INDO SF, yang dua kali menjadi penyintas kanker. Ia mengajak hadirin untuk menumbuhkan semangat hidup sehat jasmani dan rohani sebagai cara mencegah risiko Alzheimer.
Debora yang juga guru piano menambahkan, musik bisa menjadi terapi kognitif.
“Musik menghubungkan kita dengan momen-momen sepanjang hidup. Sebuah melodi bisa membawa kita kembali pada kebahagiaan, kesedihan, atau cinta, seolah terjadi untuk pertama kali,” tuturnya.
Memory of Indonesia bukan hanya soal kesehatan, tapi juga tentang merawat identitas budaya di tanah rantau. Acara diramaikan dengan angklung, tarian Bali dan Yapong, fashion show bertema ungu, bazar kuliner Nusantara, hingga senam Poco-Poco dan Maumere.
Peserta juga larut dalam nostalgia lewat lagu-lagu klasik Indonesia seperti Terajana, Kolam Susu, Suwe Ora Jamu, Rasa Sayange, hingga Payung Fantasi.
Dengan semangat kebersamaan, musik, dan budaya, diaspora Indonesia di San Francisco membuktikan bahwa merawat memori bukan sekadar metafora—tetapi sebuah gerakan nyata untuk melawan Alzheimer dan menjaga warisan budaya sekaligus.
Seorang pria Indonesia bernama Muhamad Cakra (44) ditangkap polisi setelah menikam seorang warga negara Indonesia…
Sebuah kasus skandal seks yang melibatkan belasan Biksu Budha di Thailand, terbongkar Kamis lalu. Para…
Pulang dengan Bekal Dunia, Membentuk Wajah Baru IndonesiaOleh: Burhan Abe Ketika Nadiem Makarim menjejakkan kaki…
Barang-barang impor dari Indonesia ke AS akan dikenai pajak 19 persen, sedangkan produk AS tidak…
Seorang diplomat Indonesia ditemukan tewas di sebuah guest house di Jakarta, Selasa lalu. Diplomat bernama…