Menjelajah Museum Multatuli: Melawan Bukan Memberontak ….

Oleh: Nuria Soeharto

Pernah dengar grup musik cadas dari Amerika, Van Halen? Mereka mendunia di tahun 1980an. Gitaris utamanya, Eddie Van Halen merupakan putra dari perempuan kelahiran Rangkasbitung, Banten bernama Eugenia. Tidak percaya? Jangan cuma googling, datanglah ke Museum Multatuli. Di situ, kita akan memahami sang Ibu lebih jauh, sebagai salah satu putri Banten yang mengharumkan nama Rangkasbitung di tingkat internasional.  

Meskipun mencantumkan Eugenia sebagai Ibu dari grup musik tenar di seantero dunia, Museum Multatuli bukanlah museum musik cadas. Mereka yang pernah membaca novel Max Havelaar (1860) akan memahami bahwa Multatuli merupakan nama pena dari Eduard Douwes Dekker, asisten residen Lebak yang tinggal di Rangkasbitung pada 1856 yang mengeluarkan isi hatinya tentang kolonialisme dalam novel tersebut. Museum Multatuli pun menjadi museum anti-kolonialisme. Museum Multatuli tidaklah terasa menakutkan, bahkan sebaliknya, sangat menyenangkan untuk dikunjungi. 

Museum Multatuli (Foto: Nuria Soeharto)

Terletak di Rangkasbitung, Banten, museum ini bisa dicapai dengan dua jam berkereta dari Tanah Abang, Jakarta, yang tiketnya hanya Rp. 8 000. Turun di stasiun kereta, tinggal jalan kaki sekitar 10 menit melewati pasar tradisional menuju Alun-Alun Rangkasbitung. Museum ini cantik berdiri di situ, bersebelahan dengan Perpustakaan Saijah-Adinda yang terbuka untuk umum.  

Museum mungil ini hanya memiliki tujuh ruang yang terbagi dalam empat tema, yaitu sejarah penjajahan di Indonesia, Mutlatuli dan Max Havelaar, sejarah Banten dan Lebak, serta sejarah Rangkasbitung. Buku Max Havelaar berbahasa Prancis merupakan objek utama yang dipamerkan di sini, serta hasil terjemahan berbagai bahasa lain. Perlu diketahui, Max Havelaar telah diterjemahkan dalam 49 bahasa, yang terakhir adalah Bahasa Korea. 

Berbicara penerjemahan, Kepala Museum, Ubaidilah Muchtar menyatakan hal menarik yang patut dipikirkan. Ia mengatakan bahwa pemberontakan merupakan kata yang tidak seharusnya menjadi basis perbincangan kita tentang Max Havelaar (atau kolonialisme) karena pemberontakan berarti kita mengakui pemerintahan Belanda. Baginya, kata perlawanan menjadi kata yang lebih menggambarkan semangat kala itu karena kita berada di posisi yang menentang pemerintahan tersebut. 

Perlawanan ini juga dilakukan Museum Multatuli ketika pandemi berlangsung. Museum tidak tunduk pada ketidakberdayaan pandemi. Museum merambah dunia digital tidak saja dengan menyodorkan virtual museum tetapi juga Augmented Reality (AR), yaitu teknologi yang menggabungkan konten digital dengan kehidupan nyata.

Kita bisa memindai barcode yang tersedia di resepsionis museum dengan telepon genggam, lalu di dalam, ketika kita mengarahkan telepon genggam ke sebuah objek, kita akan melihat sebuah video yang menggambarkan objek tersebut, di telepon genggam kita. AR ini hanya bisa dilakukan di museum yang membuat museum ini, sekali lagi, sangat menyenangkan untuk dikunjungi. 

Buku Multatuli (Foto: Nuria Soeharto)

Keramahan dan kedalaman pengetahuan para petugasnya (yang hanya 11 orang!) akan Max Havelaar, Multatuli, Banten dan Rangkasbitung, membuat kita sebagai pengunjung merasa nyaman dan bangga akan kehadiran museum mungil ini. Serba-serbi Museum Multatuli bisa dibaca di website mereka, museummultatuli.id yang mengedepankan tidak saja Max Havelaar dan Multatuli tetapi juga putra-putri Banten saat ini.

Namun tentu saja, bila sedang berada di Pulau Jawa, kunjungi saja museum ini. Jelas, dengan harga tiket masuk hanya Rp. 2000, tak ada yang bisa menyangkal kebahagiaan berfoto dengan patung-patung dan lukisan-lukisan mural berkisar Max Havelaar, Multatuli, Banten, dan Rangkasbitung!

.

View Comments

  • Hi! Would you mind if I share your blog with my zynga group?
    There's a lot of people that I think would really enjoy your content.
    Please let me know. Many thanks

  • Way cool! Some extremely valid points! I appreciate you penning this article and also the rest of the site is also really good.

  • What's up i am kavin, its my first time to commenting anyplace,
    when i read this piece of writing i thought i could also create comment due to this
    good post.

Recent Posts

Satay Bistro, Kuliner Indonesia di Philadelphia, Amerika

Satay Bistro, salah satu kuliner Indonesia yang berlokasi di 1240 Spring Garden, Philadelphia, Amerika,  menyajikan…

2 weeks ago

Lebaran di Philadelphia, Amerika 2024 ( Ied Al-Fitr in Philadelphia)

Pada tanggal 10 April 2024, masyarakat muslim Indonesia yang tinggal di Philadelphia dan sekitarnya melaksanakan…

2 weeks ago

Wawancara dengan Tantri Dyah Kiranadewi : Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri KOWANI

  KOWANI adalah salah satu lembaga wanita terbesar di Indonesia. Dalam wawancara yang dilakukan di…

3 weeks ago

Philadelphia City Hall Event : Interfaith Iftar, One Philly, One Stronger Together

During this event, religious and city leaders gathered at Philadelphia's City Hall to participate in…

3 weeks ago

Film Review of Eksil (2022): the stories of the Indonesian exiles

  Di sana tempat lahir beta                  …

3 weeks ago

Indonesia Bagian dari Kongres CSW 68-Side Event di UN, NY, Membahas tentang Kemiskinan dan Pemberdayaan Perempuan

CSW 68 adalah salah satu kegiatan tahunan dari United Nations Commision on the Status of…

4 weeks ago