Pulang dengan Bekal Dunia, Membentuk Wajah Baru Indonesia
Oleh: Burhan Abe
Ketika Nadiem Makarim menjejakkan kaki di Brown University, Amerika Serikat, ia membawa mimpi anak muda Indonesia pada umumnya: belajar, sukses, lalu kembali memberi arti. Namun, Nadiem tak sekadar sukses—ia mengubah arah sejarah transportasi digital lewat Gojek, lalu mengguncang sistem pendidikan formal sebagai menteri. Sebagian mengkritik kebijakannya terlalu cepat, terlalu disruptif. Namun, di situlah justru semangat baru yang ia bawa: gesit, digital, dan tak terikat pola lama.
Cerita serupa kita temukan dalam jejak Ferry Unardi, lulusan Purdue yang memilih mundur dari Harvard demi membangun Traveloka. Atau Belva Devara, yang menyandang dua gelar master dari Harvard dan Stanford, dan kini mengelola Ruangguru bersama Iman Usman, alumnus Columbia. Di tangan mereka, pendidikan menjadi platform terbuka dan berjangkauan luas—sesuatu yang sebelumnya hanya bisa diakses oleh segelintir orang.
Yang menarik, transformasi ini tidak hanya terjadi di ranah startup. Para alumni kampus Amerika kini juga menjabat di posisi strategis: Erick Thohir (University of Southern California) mengelola Kementerian BUMN dengan pendekatan manajerial; Anindya Bakrie (Northwestern dan Stanford) memimpin ekosistem energi baru dan kendaraan listrik; sementara Arsjad Rasjid (Pepperdine University) membangun jembatan diplomasi ekonomi melalui KADIN.
Pengalaman hidup di Amerika—baik sebagai mahasiswa maupun profesional—mengajarkan mereka satu hal penting: berpikir sistemik, bertindak adaptif. Dari ruang-ruang kuliah di Boston dan Chicago hingga ruang rapat di Jakarta dan Bandung, cara berpikir mereka telah terbentuk dalam sistem yang menuntut kecepatan, akurasi, dan solusi berbasis data.
Mereka adalah bagian dari generasi “diaspora agen perubahan”—pengusaha dan profesional yang membawa semangat meritokrasi, ide disruptif, dan jaringan global ke panggung Indonesia.
Namun, bagaimana caranya agar lompatan dari modul kampus AS bisa beresonansi di tengah tantangan lokal seperti birokrasi, infrastruktur, dan budaya?
Jawabannya ada pada kesadaran antara ilmu dan tanggung jawab. Seperti yang ditegaskan oleh sebuah gerakan mahasiswa Indonesia di luar negeri yang mengusung semangat “pulang bawa manfaat”.
“Apalah artinya kita menempuh pendidikan tinggi di luar negeri ini, apabila tidak membawa manfaat buat Indonesia… Keterdidikan bukan semata-mata membuat seseorang meraih cita-cita individual, tetapi keterdidikan haruslah menjadi instrumen untuk menggerakkan, untuk menginspirasi, dan untuk memberi gagasan,” begitu tegas gerakan mahasiswa yang serius soal kontribusi pulang bawa manfaat.
Pandangan ini kerap dianut oleh para alumnus AS: bukan hanya gelar yang mereka bawa kembali ke Indonesia, melainkan visi transformasional—di bidang teknologi, pendidikan, kebijakan publik, hingga tata kelola korporasi. Erick Thohir mengadaptasi konsep efisiensi ala perusahaan publik saat memimpin BUMN, sedangkan Arsjad Rasjid memanfaatkan jejaring Amerika untuk membuka dialog investasi strategis lewat KADIN.
Tentu bukan tanpa gesekan. Sebagian pihak menganggap pendekatan “Amerikais” terlalu keras, sulit diterapkan di tatanan lokal. Namun, para alumnus ini belajar cepat: mereka berstrategi untuk menyesuaikan inovasi global dengan kondisi lokal—meramu sistem baru yang tetap berpijak pada budaya lama.
Amerika sebagai Jembatan, Indonesia sebagai Tujuan
Tidak semua ide besar dari luar bisa diterapkan begitu saja. Tantangan lokal—dari birokrasi hingga mentalitas kolektif—kerap menjadi tembok. Namun, di situlah mereka diuji. Mereka tidak datang untuk meniru Amerika di Indonesia, melainkan untuk mentranslasikan nilai-nilai global ke dalam konteks lokal.
Mereka adalah generasi jembatan: menghubungkan dua dunia yang berbeda, tapi saling membutuhkan. Dunia yang satu menawarkan struktur, jaringan, dan modal; dunia lainnya memberi makna, kebutuhan, dan ruang transformasi.
Pola ini terlihat jelas pada langkah-langkah sejumlah tokoh. Kevin Aluwi, misalnya, membawa pendekatan data-driven dari USC ke dalam skema operasional Gojek. Melissa Juminto, lulusan University of Washington, mengelola Tokopedia dengan efisiensi khas Seattle. Bahkan tokoh senior seperti Gita Wirjawan, yang menempuh pendidikan di Texas, Baylor, dan Harvard Kennedy School, kini aktif menciptakan ruang diskusi strategis lewat kanal digitalnya—bukan hanya bicara ekonomi, tapi juga masa depan pendidikan, budaya, dan demokrasi.
Di tengah arus globalisasi, para alumnus ini tidak lantas tercerabut dari akarnya. Justru sebaliknya: mereka memperkuat tanah yang mereka injak dengan gagasan yang mereka bawa. Sebagian dari mereka menjadi mentor, investor, hingga pembuat kebijakan—menyambung generasi dengan semangat kolaborasi.
Dalam sebuah wawancara, Gita Wirjawan pernah berkata:
“Belajar di luar negeri membentuk cara kita berpikir dalam spektrum global, tetapi sekaligus mengingatkan untuk tetap membumi.”
Itulah mungkin esensi dari mereka yang pulang membawa perubahan: mereka tidak mengklaim sempurna, tapi mereka sadar bahwa pengalaman itu akan sia-sia jika tidak memberi manfaat untuk tanah air.
Mereka bukan sekadar lulusan luar negeri. Mereka adalah agen-agen masa depan Indonesia.