Press "Enter" to skip to content

Kuliner yang Paling Dirindukan Para Diaspora

Indonesia terkenal sebagai surga kuliner. Mau apa saja, tinggal jalan sedikit sudah tersedia yang kita mau. Rasanya enak, harganya pun murah. Di luar negeri?

Kangen hidangan khas Indonesia? Sebenarnya Anda bisa saja membeli di tempat kini Anda tinggal. Di luar negeri, apalagi di Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Jepang, Arab Saudi, makanan khas Indonesia sudah banyak tersedia.

 

Tapi kenapa rasa kangen masih selalu ada pada mereka yang sedang melanglang buana itu?

Ini kisah Ana Khalisa, mahasiswa program S3 di Universitas Tsukuba, Jepang. “Saya selalu kangen bakso di Indonesia. Entah kenapa, padahal di sini juga ada. Apa mungkin bumbunya yang beda? Bawang merahnya beda kali ya,” katanya serius ketika dikontak melalui pesan daring.

Ana yang ‘baru’ setahun menimba ilmu di Kota Ibaraki Jepang itu, ‘terpaksa’ harus ikhlas dengan bakso ala Jepangnya itu.

Selain bakso, perempuan asal Banjarmasin yang baru menikah beberapa bulan lalu itu, pun selalu kangen dengan sate maranggi. Lagi-lagi irisan bawang merah (dan tomat serta cabe rawit) yang ditaburkan di atas sate maranggi itu, yang selalu bikin kangen.

Menurut beberapa riset, juga disebutkan bahwa bagaimana pun sempurnanya hidangan di luar Indonesia, tetap saja ada yang kurang karena rasa dan aroma yang berbeda.

Makanan khas Indonesia yang paling dikangenin atau dirindukan para diaspora, biasanya memiliki rasa dan aroma khas yang sulit ditiru oleh versi luar negeri.

Sambal, misalnya. Hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki keistimewaan masing-masing. Umumnya rasanya pedas. Ada yang diulek, ada yang diiris. Ada yang digoreng, dikukus, ada yang mentah.

Coba bayangkan sambel yang diulek. Dari rasa pedasnya, aroma cabe, bawang, serta terasinya. Itu semua mengingatkan pada rumah, pada ibu yang mengulek dalam cobek batu yang besar.

Cobalah Anda membuat sambel atau beli sambal yang sudah jadi. Apakah rasanya sama? Mungkin ada yang sama, tapi banyak yang bilang, rasanya memang beda. Entah karena suasananya?

Di Indonesia, Anda bakal di’kepung’ aroma bawang dan cabe serta terasi yang digoreng untuk membuat sambal yang Anda nikmati saat itu. Atmosfir seperti itu, mungkin tak ditemukan di tempat tinggal sekarang.

Hal yang sama juga saat menikmati rendang. Makanan Indonesia yang paling beken dan salah satu terenak di dunia ini, juga menciptakan atmosfir kuat di seantero ruangan tempat dimasaknya.

Coba ingat-ingat, jika ibu sedang membuat rendang, ada orang atau tamu yang datang ke rumah, pasti berkomentar begini. “Wah, rendangnya sudah masak kah?” Ini bukti bahwa yang bersangkutan mencium aroma rendang yang kuat ketika memasuki rumah tersebut.

Di luar itu semua, baik sambal atau rendang, selain adalah bukti tanah air tercinta memiliki kekayaan rempah luar biasa. Pun, rendang juga memiliki filosofi kesabaran mereka yang membuatnya. Coba saja, memasak daging sampai empuk berjam-jam, sambil menambahkan rempah, kemudian santan, secara bertahap. Kemudian membolak balikkannya, ada yang sampai kering. Ada juga yang masih basah, tapi itu pun tak cukup 2-3 jam menyelesaikannya. Kesabaran, itulah kunci memasak makanan khas Sumatera Barat ini. Semua itu mengingatkan pada seseorang di rumah, di tanah air. Hal itu [mungkin] yang membuat kita kangen pada hidangan tersebut .

Beberapa makanan lain yang sering membuat para diaspora juga ‘menderita’ jika mengingatnya adalah gado-gado (hidangan sayur mayur, plus tahu, kentang goreng dan taburan kacang yang diulek terasi, cabe rawit, bawang putih, gula merah dan kencur), batagor (bakso tahu goreng), cilok (aci dicolok/ditusuk), tahu gejrot (hidangan dari tahu yang digoreng renyah kemudian dipotong-potong dan dicampur dengan saus pedas manis dengan aroma bawang putih yang kuat.

Ada juga kangen masakan khas Bali, Lawar. Yaitu hidangan dari berbagai sayuran yang dicampur kelapa parut dan rempah-rempah.

Kalau yang berbahan tepung, mungkin probabilitas keberhasilan membuatnya di luar negeri cukup besar, apalagi jika bumbunya seputar merica dan garam.

Tapi, cobalah menciptakan tahu gejrot dan lawar. Agak sulit mewujudkannya dengan bumbu yang pas seperti aslinya. Seperti kata Ana tadi, “bawang merahnya mungkin lain.”

Namun, perlu diingat bahwa rasa dan kualitas makanan dapat berbeda-beda tergantung pada bahan, cara memasak, dan preferensi pribadi.

Hal lain yang membuat kita kangen pada kuliner khas Indonesia adalah kemudahannya dalam mencari di negeri sendiri, tinggal jalan sedikit saja dari rumah, sudah ada yang jual. Belum lagi, harganya yang ramah kantung.

Kita bandingkan harga beberapa kuliner favorit di luar negeri. Siomay, misalnya, kuliner yang dibuat dari pangsit dan diisi adonan udang atau ayam itu, satu porsi di Amerika bisa mencapai angka Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu, sementara di Indonesia Anda bisa beli dengan harga Rp15 -35 ribu per porsi.

Nasi Goreng di Amerika Serikat dan Belanda bisa mencapai angka Rp150.000 – Rp 370.000 per porsi. Sementara di Indonesia hanya Rp15 -35 ribu saja, tergantung topingnya apa. Ada daging atau kulit ayam, ati ampela, babat, pete, telur, dan masih banyak lagi.

Demikian juga bakso. Bakso di Indonesia semangkuk, paling mahal sekitar Rp 40 ribu. Di Jepang, minimal 1000 yen atau sekitar Rp 100 ribu-an.

Tapi, harga adalah soal lain. Kangen itu sulit diobati. Rasa kangen pada kuliner khas Indonesia itu selalu ada bagi mereka yang hidup jauh dari kampung halaman.

Karena bagaimana pun, makanan tersebut tak sekadar makanan, tapi juga sebuah tradisi, membawa kenangan dan rasa rumah yang sangat kuat.

(Susandijani)

Mission News Theme by Compete Themes.