Menggambarkan ideologi resmi pemerintah atau sistem hukum yang berlaku dalam suatu negara tentu lebih mudah dibanding mendeskripsikan kenyataan yang hidup di masyarakatnya. Bahwa Amerika Serikat adalah negara demokrasi, bukan pendukung komunisme, dan menganut sistem Common Law, itu mudah dijelaskan. Tapi bagaimana dengan kondisi sosial, budaya,dan politik yang ada di masyarakatnya? Penjelasan singkat soal ini biasanya jatuh pada stereotype yang hanya “benar sebagian”. Penilaian gebyah-uyah (pukul rata) tidak pernah sungguh-sungguh menggambarkan kehidupan masyarakat secara lengkap.
Demikian juga kehidupan masyarakat di AmerikaSerikat. Selalu ada sisi lain yang tidak banyak mendapat perhatian orang, tapi eksis. Salah satu contoh kecil dan nyata adalah Revolution Bookstore yang ada di Jalan Malcom X Boulevard, New York. Masuk ke toko buku ini Anda akan segera merasakan bahwa ini bukan sekadar toko buku. Ini sebuah gerakan perlawanan, ini perjuangan ideologi. Dari poster yang dipasang, kaus yang dijual, dan terutama buku-bukunya, terasa betul ada “sesuatu” di balik semua itu. Hampir seluruh buku yang dijual di situ bukan buku “mainstream” yang biasa ditemui di toko buku umum.
“Saya kok merasa ada sesuatu di balik toko buku ini. Ini bukan toko buku biasa,” kata saya terus terang kepada pria di balik meja kasir. Pria setengah baya itu tersenyum.Wajahnya sedikit mirip Harrison Ford, bintang film terkenal itu, tapi pasti bukan dia. Lalu muncul wanita yang juga setengah baya menata buku dan menyapa saya.
“Ya, di sini kami tak sekadar menjual buku. Kami ingin berdialog,” kata wanita itu yang kemudian memperkenalkan sebagai Judy. Hal itu langsung dibenarkan oleh petugas lain yang belakangan muncul.
“Kami terbuka kepada siapa saja. Tapi kami punya pandangan yang kami dukung. Dengan sistem yang ada sekarang, Amerika tidak akan menjadi besar lagi. America was never great again. Apalagi di bawah pemerintahan Trump yang fasis sekarang ini. The Trump-Pence Regime must go,” katanya lagi. Wow, seram sekali kata-katanya. Saya melirik poster hitam-putih di tembok dengan tulisan “No! In the Name of Humanity, We Refuse to Accept a Fascist America!”
Kalimat semacam itu juga ada di dalam tabloid Revolutioner. Rupanyaituadalah slogandari “Refuse Fascism” yang merekadukung. Refuse Fascism sendiri merupakan kumpulan orang-orang yang berasal dari beragam perspektif yang menyadari bahwa Rezim Trump/Pence adalah fasis, sehingga menimbulkan bahaya bencana bagi seluruh umat manusia. Karena itu mereka merasa bertanggungjawab untuk memobilisasi jutaan orang untuk mengusir Trump/Pence dari kekuasaan. Bunyi protes mereka, antara lain:
“Imigran adalah sepenuhnyamanusia, bukan penjahat ‘ilegal’ untukditeror, diburu, dikurung, dan dibuang. TIDAK! Kami tidak akan menerima masa depan di bawah rezim Trump/Pence yang kejam dan brutal. .. mereka harus pergi!”
“Muslim dan pengungsi adalah manusia, bukan orang yang harus dijauhi, dilarang, dan diusir dari rumah oleh peperangan. TIDAK. Kami tidak akan menerima masa depan yang kejam dan brutal dari Rezim Trump/Pence… .. mereka harus pergi!”
“Perempuan dan LGBTQ adalah manusia penuh, bukan benda yang harus direndahkan, menjadi korban dan ditolak hak dasarnya untuk mengendalikan reproduksi mereka, dan bagaimana mereka memilih untuk hidup. TIDAK. Kami tidak akan menerima masa depan yang kejam dan brutal rezim Trump/Pence … mereka harus pergi!”
“Orang-orang kulit hitam dan orang Latin adalah manusia penuh, bukan orang-orang yang harus ditolak bahkan untuk hidup, ditembak mati oleh polisi dengan kekebalan hukum, dipenjara dalam genosida, dan menolak hak-hak dasarnya. TIDAK. Kami tidak akan menerima masa depan rezim Trump/Pence yang kejam dan brutal … mereka harus pergi!
Slogan “Rezim Trump/Pence Harus Pergi” ini, menurut Refuse Facism, harus diucapkan, diteriakkan, dan ditindaklanjuti dengan tekad yang kreatif. Protes itulah yang mereka teriakkan dalam demo pada 15 Juli 2017 di Fifth Avenue, New York, pukul 16.00 waktu setempat. Saya kebetulan menyaksikannya sendiri demontrasi itu. Refuse Facism juga meneriakkan tuntutan mereka di beberapa kota, antara lain, Atlanta, Austin, Boston, Chicago, Detroit, Honolulu, Huston, Clevland, Los Angeles, New York City, dan lain-lain.
Judy sendiri, meski tidak muda lagi, tampak begitu semangat menjelaskan pandangannya tentang komunisme baru. Lalu saya lirik tulisan di kaus hitam yang dikenakannya, “BA Speak: Revolution-Nothing Less!” Heeeemmm. Siapakah BA itu? Ternyata dia adalah Bob Avakian (BA), Chairman of the Revolutionary Communist Party alias Partai Komunis Revolusioner Amerika yang didirikan sejak 1975.
“Jadi toko buku ini bagian dari Partai Komunis?” kata saya bertanya.
“Ini bukan milik partai. Tapi tentu kami mendukungnya,” jawab Judy. “Ya, tidak perlu semua orang yang kesini harus komunis atau setuju dengan kami,” sahut petugas lain menambahkan.
“Lalu kamu dan toko buku ini menyebut diri sebagai apa?” kata saya bertanya.
“Kami non-profit organization,” jawab salah seorang petugas. “Hidup kami dari penjualan buku dan donasi para simpatisan.”
Oleh para pendukungnya, Bob digambarkan sebagai tokoh yang telah mengabdikan hidupnya untuk melayani revolusi, emansipasi kemanusiaan, dan secara konsisten bertanggung jawab untuk memimpin gerakan revolusi, baik secara teoritis maupun praktis. Sebagai seorang pemimpin, kata mereka, Bob memiliki kombinasi langka: seseorang yang mampu mengembangkan teori ilmiah kelas dunia, dan pada saat yang sama memiliki pemahaman serta hubungan mendalam dengan mereka yang tertindas. Bob juga mampu “memecah” teori-teori yang kompleks dan membuatnya dapat diakses oleh khalayak luas.
Bob Avakian adalah arsitek kerangka emansipasi manusia yang baru,dan ini merupakan hasil sintesis baru dari komunisme. Sintesis baru ini didasarkan pada karya-karya revolusioner masa lalu yang secara kritis menganalisis kondisi masyarakat dengan pengalaman, pemikiran baru, serta berbagai aktivitas. Apa yang dikembangkan Bob Avakian adalah kelanjutan — tapi juga merupakan lompatan kualitatif – dari teori komunis Karl Marx yang telah dikembangkan sebelumnya.
“Jadi kalian yakin komunisme baru ini akan berkembang di Amerika?”
“Kami sedang berusaha. Simpatisan kami terus bertambah, tidak cuma di Amerika Serikat, tapi di seluruh dunia,” jawab salah seorang dari mereka.
Bob Avakian juga menulis draft tentang Konstitusi untuk Republik Sosialis Baru di Amerika Utara, yang menyediakan kerangka kerja kompromi, visi, dan sekaligus panduan untuk membangun masyarakat baru. Masyarakat sosialis yang dirancangnya itu sebagai bagian penting untuk menuju sebuah masyarakat komunis yang emansipatoris dan bebas dari eksploitasi.
Tidak selayaknya sebagai pengunjung yang kesasar saya mendebat apa yang dijelaskan Judy dan kawan-kawannya. Saya lebih banyak bertanya dan mendengarkan jawaban mereka. Mereka lalu putarkan video perjuangannya dan beberapa pidato Bob Avakian di berbagai kesempatan.
Demikianlah, masyarakat Amerika Serikat itu tidak cuma“satu warna” – apapun maknanya! (Penulis: Kemala Atmojo. Foto-foto: Kemala Atmojo & Wikipedia)
SaveSave
SaveSave
SaveSave
SaveSave
Satay Bistro, salah satu kuliner Indonesia yang berlokasi di 1240 Spring Garden, Philadelphia, Amerika, menyajikan…
Pada tanggal 10 April 2024, masyarakat muslim Indonesia yang tinggal di Philadelphia dan sekitarnya melaksanakan…
KOWANI adalah salah satu lembaga wanita terbesar di Indonesia. Dalam wawancara yang dilakukan di…
During this event, religious and city leaders gathered at Philadelphia's City Hall to participate in…
Di sana tempat lahir beta …