Dwi Asih kini bisa hidup tenang di kampungnya, Cilacap, Jawa Tengah. Maklum, selama bekerja sebagai penjaga bocah pasangan SDP dan MS di Bethesda, Maryland, AS, Asih seakan tidak dapat beristirahat.
Ke mana pun melangkah, Asih selalu diikuti oleh majikannya yang selalu curiga pada Asih. ”Jika ke kamar mandi agak lama, saya sudah dipanggil dan pintu kamar mandi digedor-gedor,” tutur wanita bertubuh kecil itu. Padahal, ”Saya harus bangun pagi pukul 5.00 pagi dan selesai pukul 23.00,” kata Asih menuturkan kondisinya selama bekerja di AS.
Penderitaannya itu berakhir, setelah pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC, turun tangan, dan menjemput Dwi Asih.
Bahkan, Asih, pramuwisma berusia 37 tahun itu sempat ditampung di KBRI, Washington DC.
Lewat sebuah agen tenaga kerja Indonesia, Asih bekerja di Singapura tahun 2017 lalu, sebagai perawat seorang kakek. Namun karena menderita komplikasi, kakek itu harus dirawat di rumah sakit dan Asih pun dipindahkan ke majikan baru, pasangan SDP dan MS tadi.
Dalam kontrak kerja yang disepakati bersama, Asih menerima gaji sekitar $ 400.00 per minggu untuk menjaga putri tunggal majikannya yang berusia 6 tahun. Belakangan, setelah sampai di AS, gajinya diturunkan menjadi $ 350.00 per minggu. Gaji yang jauh lebih kecil dibandingkan UMR Negara Bagian Maryland.
Tak hanya itu. Asih diwajibkan pula untuk membersihkan rumah dan memasak. Padahal dalam kontraknya, Asih hanya dilatih dan bekerja sebagai pengasuh. Asih juga dipaksa bekerja rangkap sebagai pembantu rumah tangga dan tukang masak. Dan semua itu diawasi oleh majikan lelakinya.
Untuk memberikan perintahnya, majikan wanitanya, mengatur jadual pekerjaan lewat telepon genggam merk Samsung yang diberikan ke Asih. Sedangkan telepon genggam jadul yang dibawa Asih dari Indonesia, disita kartu SIM-nya dengan alasan agar tidak sering main telepon dan ngobrol.
Jadual pekerjaan itu cukup rinci dan ketat. Setelah mempersiapkan makan pagi mulai 6.00 pagi, misalnya, Asih diwajibkan membangunkan majikannya dengan mengetuk pintu kamar bosnya. Setelah beres semua, barulah Asih mulai membersihkan rumah, seperti mengepel rumah, menaruh cucian di mesin cuci, membereskan mainan anak, membersihkan toilet.
”Majikan saya sangat jorok. Toilet baru boleh disiram setelah digunakan empat kali. Dan itu diawasi,” tutur Asih. Tak cuma itu, setiap hari Selasa, Asih diperintahkan untuk membersihkan jendela rumah yang jumlahnya 17 buah. ”Ukurannya besar-besar, sampai saya capek bukan main,” tutur Asih yang bertubuh kecil itu.
Hari itu juga, ia harus menukar seprei, selimut dan membersihkan perabot rumah tangga di dalam bangunan berlantai tiga itu. Hari berikutnya, mengemas barang di gudang dan garasi. Belum lagi apabila orang tua majikannya datang, pekerjaan Asih bertambah berkali lipat ganda, sehingga waktu tidurnya hanya dua atau tiga jam saja.
Baca juga: Berita Dwi Asih atau Bunga Zahra Minta Tolong di Facebook
Selama itu pula, Asih senantiasa dicurigai. Mulai buang sampah, dan di kamar mandi selalu diawasi. ”Hanya mengucapkan Hello ke orang di jalan saja dicurigai,” tutur Asih. Tak hanya itu, Asih dilarang makan makanan majikannya, sehingga ia harus membeli sendiri makanannya sendiri. ”Sambil berkacak pinggang, suaminya dilarang beli sayuran setelah tahu bahwa saya suka makan sayuran,” kata Asih gelling-geleng.
Penderitaan itu disampaikan Asih ke kakaknya di Cilacap yang membuatkan akun Facebook dengan nama samaran Bunga Zahra. Untungnya Asih masih bisa membuka media sosial lewat telepon jadulnya.
”Walau kartu SIM-nya telah disita, tapi handphone itu bisa berkomunikasi lewat internet dalam rumah. Alhamdulilah,” kata Asih. Tentu saja dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan telpon itu di-charge di ruang bawah tanah di balik tabung air panas agar tak diketahui bosnya.
Lewat akun Bunga Zahra itulah, Asih mengungkapkan penderitaannya lewat sebuah grup warga Indonesia AS di Facebook. Ternyata unggahan yang isinya singkat dan tidak jelas, karena ditulis secara tergesa-gesa dan sembunyi-sembunyi itu, dibaca oleh sejumlah besar warga Indonesia dan majalah komunitas lokal Indonesian Lantern, yang menyebarkan lewat media sosial lainnya.
Seorang pejabat KBRI membaca unggahan itu, dan mulai mencari tahu kebenaran berita itu. ”Pihak KBRI langsung bergerak untuk mencari tahu keberadaan Asih,” tutur Theodorus Satrio Nugroho. ”Pada 18 November 2018, KBRI berhasil melakukan komunikasi dengan Asih,” lanjut Theodorus, Koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler, KBRI Washington DC. Sejak itulah, mereka melakukan kontak telepon untuk bertemu langsung dengan Dwi Asih, pembantu rumah tangganya.
Sejak itu, sikap majikannya berubah total. SDP memasak makanan dan minta Asih agar banyak istirahat, dan minta maaf serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. “Dia minta saya bersedia tetap tinggal di rumah itu sampai kontrak saya habis 2020”.
Bahkan Asih dipeluk. ”Padahal sebelumnya dia tidak pernah begitu,” katanya. Tiga hari kemudian tiga pejabat KBRI tiba dan meminta Asih segera ikut mereka ke kantor KBRI.
Dari keterangan sementara itulah, KBRI melaporkan kasus itu ke Departement of State Diplomatic Security Service Criminal Fraud Investigation. Badan inilah yang kemudian mengusut kasus Dwi Asih sampai beberapa hari, untuk mengetahui apakah ada kekerasan atau penyalahgunaan wewenang. Dwi Asih didampingi Harun Caehler, pengacara yang dipersiapkan pihak KBRI.
Badan Investigasi Pelanggaran dan Pemalsuan Diplomatik Departemen Luar Negeri AS itu pula yang menuntut agar pasangan tersebut membayar uang lembur yang selama ini belum dibayarkan.
Mereka memberikan bukti jadual kerja dan rekaman percakapan yang ada di telepon genggam antara Asih dan majikannya di telepon Samsung.
Setelah seminggu mengurus kasusnya, akhirnya Dwi Asih pun pulang ke Indonesia diantar staf KBRI. ”Tiketnya pun kami belikan, karena Asih ingin segera pulang,” tutur Theodorus Satrio Nugroho.
Dwi Asih yang memiliki nama lengkap Dwi Asih Prasetyo itu, kini telah berada di Cilacap dan sewaktu-watu masih harus memberikan keterangan bila diperlukan kelak. ”Belum ada kontak dengan kuasa hukum mantan majikan Dwi, karena mereka belum membalas email kami,” tulis Harun Caehler. Singkatnya, Dwi Asih akhirnya bisa berkumpul kembali dengan dua anaknya, Shafa Khania Adhani, 11 dan Azzahra Quirrota’ayun, 3 tahun. Sementara putra pertamanya Duvit Aldiansyah, 16 tahun ikut Muhammad Mifthul Munir, ayahnya bekerja di Malaysia. DP.