Press "Enter" to skip to content

Mahfud MD: ”Bagi Pihak yang Kalah, KPU Selalu Berlaku Curang”

”Di setiap pemilu, pihak yang kalah selalu menuduh KPU berlaku curang.” Hal itu sudah seringkali diungkapkan Prof. Mahfud MD dalam beberapa kali kesempatan. Hal itu diutarakan lagi dalam diskusi Indonesia Lawyer’s Club, ILC yang digelar sehari sebelum hari pencoblosan, pada 17 April 2019 kemarin.

”Hanya sehari atau dua hari setelah pencoblosan, pasti ada pihak yang menuduh KPU curang,” kata Mahfud. Mulai dari KPU pertama kali bertugas hingga kini, selalu digugat pihak yang kalah. ”Pokoknya KPU nggak ada benernya,” sambung Mahfud MD.

 

Ia menambahkan, setelah diperiksa di pengadilan, kontestannya tidak curang. Yang berlaku curang adalah lapisan bawah, ”Yang dilakukan oleh masing-masing kubu. Sama-sama curang. Yang satu curang di Kudus, yang satu curang di Papua,” tuturnya.

Bila ditemukan kecurangan, apakah hasil pemilu bisa dibatalkan? Tidak. ”Pemilu bisa dinyatakan batal, apabila kecurangan terjadi secara signifikan dalam jumlah besar,” jelasnya. ”Kalau anda kalah 5 juta suara, tetapi anda hanya bisa membuktikan 1.500 suara, apakah kelompok anda jadi pemenang? Tidak. Anda tetap saja kalah,” tegas Mahfud.

Jika ada argumentasi yang menyebut satu suara ketahuan curang dan harus dibatalkan, maka pemilu tidak akan pernah selesai. ”Oleh sebab itulah, hukum mengatur: Jumlah kecurangan harus signifikan dan besar,” tutur Mahfud MD.

Menurutnya, pada zaman Orde Baru kecurangan dilakukan oleh penguasa, Pemerintahan Soeharto. Ini karena pemilu diselenggarakan oleh Lembaga Pemilihan Umum, LPU di bawah kendali Departemen Dalam Negeri RI. ”Bagi siapa saja yang tidak setuju, akan diteror atau diintimidasi,” jelasnya.

Sekarang, lanjut Mahfud, partai-partai peserta kontesten melakukan kecurangan sendiri-sendiri. ”Saya sebagai hakim, tahu siapa saja yang melakukan kecurangan. Partai Amanat Nasional, PAN curang di sini, Golkar di sana, PDIP di sana. Semua ada datanya,” jelas Mahfud MD.

Yang tak kalah pentingnya, pemilu sekarang ini telah dikontrol secara berlapis. Ada Bawaslu, DKPP, Mahkamah Konstitusi, dan ”Ada pemantau yang boleh masuk ke lokasi TPS-TPS,” kata Mahfud. Ada pula penghitungan cepat, Quick Count.

Meski begitu, masih ada saja isu yang menyebutkan bahwa surat suara bisa disedot dari komputer dan dipindah dari si A ke si B. ”Itu semua omong kosong!” kata Mahfud MD. ”Hal itu tidak mungkin terjadi, karena KPU menetapkan hasil pemilu berdasar penghitungan suara secara manual dari kertas suara. Bukan berdasar komputer,” katanya.

 

Seorang penasehat KPU yang tak mau disebutkan namanya, mengungkapkan, kertas C-1 yang digunakan menghitung suara ada dua jenis. Satu kertas berukuran besar yang ditempel di papan putih yang bisa dilihat oleh para pemantau dan peserta pemilu. Dan satu lagi kertas berukuran folio yang dilapisi hologram.

”Lapisan itu gunanya untuk mencegah pemalsuan, karena harganya mahal,” jelas penasehat dan pengawas pencetakan kertas suara di KPU. Pernah ada pengawas pemilu yang minta surat hologramnya ditambah, tapi hal itu ditolak KPU, ”Karena khawatir akan disalah-gunakan,” tambahnya.

Bagaimana uraian lengkap Prof. Mahfud MD selengkapnya? Ikuti rekaman video acara ILC yang digelar di TVOne dan dipandu Karni Ilyas. (DP).

Mission News Theme by Compete Themes.