Arswendo Atmowiloto mempunyai nama asli Sarwendo. Nama itu diubahnya menjadi Arswendo karena dianggapnya kurang komersial dan terkenal. Lalu, di belakang namanya itu ditambahkan nama ayahnya, Atmowiloto, sehingga namanya menjadi apa yang dikenal luas sekarang. Ia lahir tanggal 26 November 1948 di Solo, Jawa Tengah.
Arswendo Atmowiloto menganut agama Katolik dan menikah dengan wanita yang seiman, Agnes Sri Hartini, pada tahun 1971. Dari pernikahannya itu, mereka memperoleh tiga orang anak, yaitu Albertus Wibisono, Pramudha Wardhana, dan Cicilia Tiara.
Setelah lulus sekolah menengah atas, Arswendo masuk ke Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, IKIP Solo, tetapi tidak tamat. Aswendo semula bercita-cita menjadi dokter, tetapi tidak tercapai. Ia pernah mengikuti program penulisan kreatif di Iowa University, Amerika Serikat.
Setelah keluar dari Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, ia bekerja di pabrik bihun dan kemudian di pabrik susu. Ia juga pernah bekerja sebagai penjaga sepeda dan sebagai pemungut bola di lapangan tenis.
Arswendo mulai merintis kariernya sebagai sastrawan sejak tahun 1971. Cerpen pertamanya berjudul “Sleko”, yang dimuat dalam majalah Mingguan Bahari. Di samping sebagai penulis, ia juga aktif sebagai pemimpin di Bengkel Sastra Pusat Kesenian Jawa Tengah, Solo (1972).
Setelah itu, ia bekerja sebagai konsultan penerbitan Subentra Citra Media (1974—1990), sebagai pemimpin redaksi dalam majalah remaja Hai, sebagai pemimpin redaksi/penangung jawab majalah Monitor (1986), dan pengarah redaksi majalah Senang (1998).
Arswendo Atmowiloto adalah pengarang serba bisa yang sebagian besar karyanya berupa novel. Isi ceritannya bernada humoris, fantatis, spekulatif, dan suka bersensasi. Karyanya banyak dimuat dalam berbagai media massa, antara lain Kompas, Sinar Harapan, Aktual, dan Horison. Karangannya antara lain diterbitkan oleh penerbit Gramedia, Pustaka Utama Grafiti, Ikapi, dan PT Temprint. Puluhan karyanya telah dibukukan, sebagian diangkat ke layar televisi dan film.
Ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor, ia ditahan dan dipenjara karena satu jajak pendapat. Ketika itu, tabloid Monitormemuat hasil jajak pendapat mengenai tokoh pembaca. Arswendo terpilih menjadi tokoh nomor 10, satu tingkat di atas Nabi Muhammad SAW, yang terpilih menjadi tokoh nomor 11.
Sebagian masyarakat muslim marah dan terjadi keresahan di tengah masyarakat. Arswendo kemudian diproses secara hukum dan divonis hukuman lima tahun penjara karena tulisannya dianggap subversi dan melanggar Pasal 156 A KUHP dan Pasal 157 KUHP. Setelah itu, ia menyatakan penyesalannya dan meminta maaf kepada masyarakat melalui media TVRI dan beberapa surat kabar ibu kota.
Ketika ia berada di dalam tahanan, ia menulis cerita bernada absurditas, humoris (anekdot), dan santai. Cerita tersebut bertema kehidupan orang tahanan beserta masyarakat umum di ibu kota yang mengalami keputusasaan dalam menghadapi sesuatu yang sulit.
Arswendo pernah mendapat kecaman dan dianggap sebagai pengkhianat karena pendapatnya yang dianggapnya keliru oleh para pengamat sastra. Aswendo berpendapat bahwa “Sastra Jawa telah mati”. Ia sangat menghargai penulis komik, khususnya komik wayang dan silat yang dianggap banyak berjasa dalam pendidikan anak.
Beberapa penghargaan yang pernah diterimanya: 1. Hadiah Zakse (1972) untuk esainya yang berjudul “Buyung Hok dalam Kreativitas Kompromi” 2. Hadiah Perangsang Minat Menulis dalam Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ (1972 dan 1973) untuk dramanya yang berjudul “Penantang Tuhan” dan “Bayiku yang Pertama” 3. Hadiah Harapan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ (1975) untuk damanya “Sang Pangeran” dan “Sang Penasehat” 4. Penghargaan ASEAN Award di Bangkok untuk bukunya Dua Ibudan Mandoblang (buku anak-anak)
* Artikel ini disadur dari situs Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan.