Oleh: Supriyanto Martosuwito.
Setiap kali ada mahasiswa semester akhir magang di kantor saya, selalu saya tanyakan apakah dia mengenal So Hok Gie? Jika menjawab kenal, hati saya lega. Jika tidak, saya sedih. Menurut saya, seharusnya semua mahasiswa mengenal Soe Hok Gie. Membaca buku hariannya (“Catatan Harian Seorang Demonstran” – LP3S, 1983) dan pikiran pikirannya. Karena dia legenda aktifis mahasiswa. Dan intelektual.
Ada satu nama lagi, yang melegenda di kampus dan di jalanan yang seharusnya dikenal mahasiswa – khususnya fakultas sosial politik, yakni Soe Hok Djien – yang tak lain adalah kakak dari almarhum So Hok Gie. Yang terakhir ini lebih dikenal dengan nama Indonesianya yakni Arief Budiman.
Dulu saya rajin mengikuti ceramahnya di TIM dan setia membaca risalah yang ditulisnya di media massa, khususnya di ‘Kompas’ dan ‘Tempo’. Tapi saya belum pernah bertemu khusus dan bicara dengannya meski telah menetapkan sebagai seorang pengagumnya. Bahkan saya meniatkan memberi anak saya dengan namanya, Arief Budiman – yang menurut saya merupakan nama yang bagus. Namun isteri saya sudah mengantungi nama lain dan saya tak tega mengubah karena saya menemani saat dia melahirkan dan begitu sakitnya.
Itu tidak mengurangi penghormatan saya kepada figur Arief Budiman. Karenanya, saya tersentak saat mendengar kabar bahwa beliau menghembuskan nafas yang terakhir dua hari lalu. Tepatnya 23 April 2020 ini, di usia 79 tahun – setelah cukup lama mengalami komplikasi dan parkinson.
Soe Hok Djien dan Soe Hok Gie adalah legenda perlawanan terhadap kekuasaan yakni mahasiswa angkatan 66. Jika Soe Hok Gie menjadi legenda romantis yang kehidupannya difilmkan Mira Lesmana (“Gie” diperankan oleh aktor ganteng Nicholas Saputra, pen) Soe Hok Djien menempuh jalan sunyi di kampus dlam dan luar negeri.
Arief Budiman adalah cendekiawan sejati – bukan intelektual yang “ngamen” di ILC TVone, tiap pekan – yang mengkritisi pemerintah, tapi ngarep jabatan, makan duit sebagai komisaris BUMN dan melampiaskan kekesalan lantaran dipecat sebagai menteri dan pejabat.
Setelah kuliah di Fakultas Psikologi UI pada 1968 Soe Hok Djien kuliah lagi di Paris pada tahun 1972, dan meraih Ph.D. dalam bidang sosiologi dari Universitas Harvard, Amerika Serikat pada tahun 1980. Dia intelektual sesugguhnya.
Kembali dari Harvard, Arief mengajar di UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) di Salatiga sejak 1985 sampai 1995. Namun ketika UKSW dilanda kemelut dalam pemilihan rektor, Arief mogok mengajar, dipecat, dan akhirnya hengkang ke Australia, menerima tawaran menjadi profesor di Universitas Melbourne sampai masa pensiunnya. Jabatan terakhirnya di universitas negeri benua Kanguru itu adalah Guru Besar.
Arief, yang menghembuskan nafas terkhirnya di usia 79 tahun, mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk menentang hierarki. Masa demi masa ia aktif membaca situasi, melakukan dialektika, dan mengkritisi serta menentang apa pun yang ia anggap mempromosikan pemikiran dan tindakan monodimensional. Soekarno, Soeharto, hingga rezim-rezim singkat pasca Reformasi tak luput dari kritik Arief.
Arief lahir sebagai anak ketiga dari pasangan Soe Li Pit (Salam Sutrawan) dan Nio Hoe An. Salam Sutrawan adalah seorang novelis yang memiliki beberapa karya bergenre “Sastra Peranakan”. Hoe An, yang lebih dekat dengan anak-anaknya, adalah sosok yang pertama kali mengenalkan dunia literasi pada Arief.
Sejak menginjak bangku sekolah dasar, Arief dan saudara-saudaranya sudah menjadi langganan tetap di beberapa perpustakaan besar di Jakarta Pusat. Arief muda, menurut Goenawan Mohammad – sahabatnya sesama mahasiswa UI – adalah salah satu pembaca yang sangat tekun, terutama untuk buku-buku filsafat. Di usia 19, Hok Djien sudah menerjemahkan buku Albert Camus.
Bersama sama Goenawan Mohammad yang kita kenal sebagai sastrawan dan pendiri majalah ‘Tempo’, Arief Budiman muda menandatangan Manifesto Kebudayaan atau Manikebu di tahun 1963, melawan kelompok LEKRA, lembaga kebudayaan seniman kiri di bawah naungan PKI. Mereka berseberangan.
Arief Budiman juga merupakan pendiri majalah sastra ‘Horison’ dan ikut dalam perdebatan panas seputar Sastra Kontekstual yang ramai sekitar pertengahan 1980an. Tepatnya, 1984-85 .
SEBAGAI tokoh yang ikut membidani lahirnya Orde Baru yang giat menumbangkan rezim Orde Lama, seharusnya Arief Budiman alias Soe Hok Djien, bisa menikmati jabatan, kemudahan dan hidup makmur sebagaimana Sofyan Wanandi (Liem Bian Khoen) dan Yusuf Wanandi (Liem Bian Lie), Fahmi Idris, Cosmas Batubara dan Abdul Gafur, rekan sengkatannya.
Tapi dia menempuh jalan sunyi sebagai cendekiawan di kampus.
Dia menyunting Sitti Leila Chaerani teman sekelasnya di UI yang kemudian dikenal sebagai pengasuh rubrik Psikologi di ‘Kompas Minggu’ dengan nama Leila Ch. Budiman. Orangtua Leila merestui putri ketiganya disunting Soe Hok Djien dengan perjanjian calon mantunya masuk Islam dan menyelesaikan kuliah. Soe Hok Djien menyutujui dan sejak menikah dia mengganti namanya jadi Arief Budiman.
Menyelesaikan kuliah dan menikah, tak menumpulkan daya kritisnya pada penguasa, yakni Orde Baru hingga dia mencetuskan ‘Golongan Putih’ alias ‘Golput’ di tahun 1973 – setelah sebelumnya menuduh Orde Baru membelokkan cita cita awalnya menciptakan pemerintah demokratis. Bahkan pemerintahan Soeharto pernah menjebloskannya ayah dua anak ini ke bui saat dia demo menolak pendirian Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Selamat jalan Oom Arief Budiman. Kiranya Tuhan memberikan tempat terbaik di sisiNya. Dan beristirahat dalam damai di alam keabadian. Amin. (Supriyanto Martosuwito).