BANJARNEGARA, JAWA TENGAH-Himpitan ekonomi memaksa Sarim (36), merantau ke luar negeri, tahun 2005 silam. Sarim yang berasal dari Bojonegoro Jawa Timur hanya tamatan Madrasah Tsanawiyah (MTs) setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Lapangan kerja baginya amat lah sempit.
Beruntung ada teman yang menawarinya pekerjaan di negeri Jiran Malaysia. Ia tak menyiakan kesempatan itu, meski harus melintas negara. Sadar tak punya keahlian yang ditawarkan, Sarim rela melakoni pekerjaan kasar. Di Malaysia, ia bekerja di bengkel namun bukan sebagai mekanik. Ia hanya menjadi tukang cuci bus, yang merangkap sebagai kuli bongkar pasang ban.
Tetapi Sarim tak mengeluh. Hingga ada kesempatan baginya untuk meningkatkan karir. Beruntung ia memiliki bos yang pengertian terhadap anak buahnya. Bos yang masih keturunan warga China itu ternyata punya latar belakang tak jauh beda dengannya.
Masih beruntung Sarim, majikannya bahkan tidak pernah sekolah hingga tak bisa baca tulis aksara latin. Tetapi ia sukses membangun bisnis besar yang memekerjakan banyak orang. Sarim pun diberi kesempatan untuk kursus mekanik saat malam hari.
“Setelah itu saya ganti jadi mekanik,”katanya
Tujuh tahun bekerja, Sarim menyela pulang ke tanah air untuk menikah di Desa Gumiwang Kecamatan Purwanegara Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah, tahun 2012 lalu. Sayang kebahagiaan pengantin baru itu hanya sebentar. Sarim dapat panggilan dari bosnya kembali untuk bekerja di Taiwan. Ia bukan hanya meninggalkan istri yang belum lama ia nikahi, namun juga calon bayi yang masih di dalam perut.
Dua tahun di Taiwan, Sarim memutuskan untuk resign dari pekerjaannya. Keluarga jadi alasan utama baginya untuk kembali ke kampung halaman. Sebagai ayah, ia ingin senantiasa mengawal perkembangan anaknya di rumah.
Ternyata langkahnya ini didukung oleh bos. Majikannya juga mendorongnya untuk pulang hingga menyiapkan modal dan tiket pesawat baginya.
“Kamu kerja cari ilmu, kalau sudah pandai buka (usaha) sendiri. Kamu harus pulang, jangan ikut saya terus,”katanya menirukan pesan bosnya
Setiba di rumah, Desa Gumiwang, Sarim mengaku belum punya pandangan usaha. Apalagi Banjarnegara adalah kampung baru baginya yang berasal dari Bojonegoro Jawa Timur. Ia sempat menganggur, sembari berpikir usaha apa yang cocok baginya. Hingga suatu ketika, ide itu terbesit di otaknya.
Ia melihat banyak buah salak apkiran terbuang dari sebuah gudang salak di desanya. Sayang, buah itu mestinya bisa diolah kembali menjadi makanan sehingga tidak mubazir.
Saat itu lah ia berpikir untuk berbisnis keripik salak. Bahan baku jelas melimpah karena Banjarnegara termasuk sentra penghasil salak. Meski ini dunia baru baginya, Sarim mantab berwirausaha. Masalah keterampilan, ia bisa belajar secara otodidak lewat media internet.
Sarim tinggal mengusahakan mesin vacuum frying untuk membuat keripik, serta memikirkan pemasarannya. Sarim akhirnya membeli mesin bekas yang harganya lebih murah, sekitar Rp 4,5 juta dengan kapasitas produksi 3 kilogram.
“Saya beli mesin juga gak tahu operasionalnya gimana. Saya trial satu bulan, kekurangannya apa saya browsing google,”katanya
Awal awal, Sarim sempat merasakan pahitnya merintis usaha. Tiap hari ia berpindah dari bus satu ke bus lainnya untuk menjajakan keripik ke penumpang. Ia juga tak malu menjajakannya di komplek SPBU. Penghasilannya tak seberapa, hanya sekitar Rp 300 ribu seminggu.
Tetapi ia terus berjuang agar usahanya berkembang. Hingga ia diberi jalan kemudian. Sebuah pusat oleh-oleh di kawasan wisata Baturraden Purwokerto mau berlangganan produknya.
Ini memaksa Sarim menaikkan kapasitas produksinya. Ia kembali membeli mesin vacuum frying bekas seharga Rp 11 juta meski dengan jalan hutang. Sarim pun menambah varian bukan hanya memproduksi keripik salak, namun juga keripik nangka dan pisang.
Tak dinyana permintaan keripiknya terus meningkat, terutama dari luar kota. Kini, ia rutin menyuplai produk ke sebuah gudang besar di Magelang dan Wonosobo Jawa Tengah dengan sistem kontrak. Sarim rata-rata bisa memproduksi sekitar 80 kilogram keripik tiap hari.
Ia bukan hanya menjangkau pasar lokal. Produk Sarim bahkan sudah merambah ekspor ke Jerman. Ini membuktikan produknya berkualitas karena mekanisme ekspor pastinya sangat ketat. Di antara keunggulan produknya, Sarim tidak memakai benzoat atau pengawet makanan.
“Saya gak pakai benzoat, makanya lolos ekspor,”katanya
Caption Sarim di rumah produksinya Desa Gumiwang Kecamatan Purwanegara Banjarnegara Jawa Tengah
Ditulis oleh Zacky