Oleh: Kemala Atmojo
Pandemi Covid-19, suka tak suka, masuk dalam pusaran pertarungan antara Presiden Donald Trump, 73 tahun, melawan Joseph R. Biden, 77 tahun. Seperti kita ketahui bersama, pada Selasa 3 November nanti akan diselenggarakan pemilihan presiden Amerika Serikat. Donald Trump dan rekan-rekannya di kabinet telah dan akan terus menyalahkan China untuk menarik simpati para pendukungnya.
Padahal, ketegangan antara China dan Amerika Serikat ini bisa berdampak luas pada negara-negara lain. Bahkan IMF memproyeksikan, tahun ini bisa menjadi tahun terburuk sejak perang Dunia II. Maka, bukannya Amerika dan China bersatu mengatasi pandemi, Presiden Trump malah menggunakan Covid-19 sebagai salah satu senjata untuk memenangkan pilpres.
Sentimen anti-China terus didengungkan. Beberapa kali presiden AS itu bahkan menyebut kata “China” dengan nada sinis. Bahkan, dengan agak halus, sempat muncul tuduhan tanpa bukti dari Mike Pompeo, menteri luar negeri AS, bahwa Covid-19 diproduksi oleh manusia di laboratorium Wuhan.
Strategi menyalahkan pihak lain ini tampaknya sengaja diledakkan mengingat banyaknya pekerjaan yang hilang (diperkirakan 30 juta), angka pengangguran naik menjadi 14 persen, dan lebih dari 1,4 juta kasus positif yang menyerang warga AS. Dalam catatan saya, sampai 15 Mei 2020, sudah lebih dari 88 ribu warga AS meninggal dunia.
Angka tersebut berkali-kali lipat di atas angka korban 9/11 yang menggemparkan dunia pada 2011 dan jauh di atas korban Perang Vietnam yang berlangsung lebih dari sepuluh tahun.
Maka, Perang Dagang (tariff) yang selama ini sudah berlangsung akan berlanjut dengan perang pasokan barang dan investasi antara kedua negara. Pelambatan pasokan barang dari China akan berpengaruh pada pabrik-pabrik dan toko-toko di Amerika. China juga akan terus mengurangi ketergantungannya pada teknologi AS.
Sementara itu Amerika Serikat sendiri akan menggunakan kesempatan ini untuk membawa kembali pabrik-pabrik ke AS untuk menghindari ketergantungannya pada China. Mau tak mau ini juga akan mengurangi investasi di China.
Jika konflik ini meningkat, akan muncul dilema baru yang tidak disukai oleh negara-negara tetangga. Sebab mereka seperti dipaksa memilih antara AS atau China. Jika ekonomi China pulih lebih cepat dari AS, pengaruh AS akan menurun tajam.
Tampaknya AS ini tidak tahu siapa musuhnya. China tidak bisa dianggap enteng. China sedang berusaha memulihkan peradabannya agar semakin kuat. Kini China memiliki banyak waga yang cerdas yang ingin bekerja untuk kemajuan negaranya. Maka sangat berbahaya menganggap remeh China.
Sekarang, di tengah korban yang terus meningkat, jalan yang ditempuh Trump dan pendukungnya adalah membuka kembali aktivitas ekonomi dengan risiko jumlah kematian akan bertambah banyak. Saat ini, sekitar 40 negara bagian di AS telah menbuka kembali secara bertahap aneka kegiatan ekonominya. Bagi Trump, ada atau tidak ada vaksin, Amerika harus kembali buka. Hali ini oleh beberapa ahli kesehatan dianggap ttindakan berbahaya. Sebab jika Covid-19 tidak mereda, maka tindakan itu tidak hanya memicu peningkatan jumlah korban akibat virus, tetapi juga mengancam perekenomian jatuh lebih dalam.
Maka wajar jika muncul usulan jalan lain, yakni jalan yang sekarang disebarkan oleh Gubernur New York Andrew Cuomo dan mantan CEO Google Eric Schmidt. Menurut Slavoj Zizek, periset dari University of Ljubijana, di belakang mereka ada Michael Bloomberg dan Bill Gate beserta istrinya. Jalan yang disebut sebagai “Layar Kesepakatan Baru” itu menjanjikan keselamatan dari infeksi sambil mempertahankan semua kebebasan pribadi yang selama ini diagung-agungkan oleh kaum liberal. Frasa “kebebasan pribadi” itu mendapat tekanan karena mereka takut jika “Jalan China” yang diambil maka kebebasan pribadi ini akan hilang karena adanya kontrol digital yang ketat.
Apapun jalan yang ditempuh, siapapun yang memimpin nantinya, para elite di AS harus lebih sering “piknik” untuk melihat perkembangan dunia lain, terutama Asia. Mereka selama ini ditengarai merasa paling tahu tentang segala hal dibanding negara lain. Mereka, menurut Kishore Mahbubani dalam buku Has the West Lost It?, setelah Perang Dingin usai para elit Amerika seperti mabuk akibat tulisan Francis Fukuyama yang berjudul The End of History.
Di dalam esai itu, ia dengan berani berargumen: “What we may be witnessing is not just the end of the Cold War, or the passing of a particular period of the post-war history, but the end of history as much: that is, the endpoint of mankind’s ideological evolution and the universalization of Western liberal democracy as the final form of human government.”
Dengan kata lain Francis Fukuyama mengatakan bahwa demokrasi berdasarkan perekonomian pasar bebas merupakan sistem sosial-politik yang paling masuk akal karena paling logis dalam mengusahakan kesejahteraan dan kemaslahatan segenap masyarakat. Para elite Amerika jatuh cinta dengan tulisan Francis Fukuyama itu dan mulai percaya bahwa mereka telah mencapai puncak metaforis Gunung Everest dari perkembangan manusia dan tidak akan berubah lagi.
Padahal, dalam kenyataan dan perkembangannya tidak demikian sederhana. Tiga puluh tahun setelah esai itu ditulis, meski demokrasi tetap ada dan kuat, muncul banyak masalah dan pertanyaan di belakangnya. Nyatanya sistem itu tidak sepenuhnya digunakan di beberapa negara.
Singkatnya, siapapun yang menang nanti, sebaiknya ia Presiden yang memilih lebih banyak mengenbangkan teman daripada menambah musuh. Mereka harus berhenti menghina orang, termasuk musuhnya, sebab mereka toh masih tetap akan bekerja sama dengannya. Mereka juga sebaiknya berendah hati dan menerima kenyataan bahwa negara-negara lain punya cara sendiri untuk mengembangkan diri.
Akhirnya, kita tunggu saja, apakah Donald Trump akan menang dalam pilpres dan dilantik pada 20 Januari 2021 nanti? Jika dia yang menang lagi, ada hal perlu perhatikan. Pertama, apakah dia akan mengubah kebijakannya terhadap China atau tidak. Apakah perilakunya yang suka ceplas-ceplos dan menghina itu berubah atau tidak. Semoga saja berubah. Toh selama ini kita sering melihat dia sering berubah pernyataan dan pikiran. Kedua, jika tidak berubah, kita sudah tahu bakal seperti apa tatanan dunia baru selama dia memimpin di Gedung Putih. (Kemala Atmojo)