Beberapa bulan terakhir ini, Indonesia dilanda polemik Omnibus Law atau RUU Cipta Lapangan Kerja yang diinisiasi oleh pemerintah. RUU ini menjadi pro dan kontra karena banyak kalangan yang menilai RUU ini bila disahkan akan merugikan pekerja, lebih menguntungkan pelaku usaha, pemilik modal. Kontan para pekerja pun ramai-ramai mendemo RUU tersebut. Bahkan mereka memplesetkan RUU Cipta Lapangan Kerja itu menjadi RUU Cilaka.
Namun RUU ini bukan hanya kalangan pekerja yang akan dirugikan, dalam bidang agraria, RUU ini pun akan juga mencelakakan atau merugikan rakyat pedesaan yang miskin, petani kecil, dan masyarakat asli (indigenous people). Omnibus law ini akan lebih banyak menguntungkan para industri, investor dan pemilik modal. Akibatnya, masyarakat sipil akan tereduksi haknya untuk mendirikan bangunan, bercocok tanam, dan hak-hak lainnya.
RUU Cilaka ini bila disahkan akan melanggar hak asasi manusia atas tanah dan sumber dayanya. Namun isu bahwa akses atas tanah dan sumber dayanya adalah hak asasi manusia yang fundamental belum mencuat menjadi isu krusial, karena ada hal yang belum tegas, belum eksplisit dan bulat.
Bila kita bertanya kepada seorang pejuang hak atas tanah (Land Rights) apakah ada hak asasi manusia atas tanah, dengan yakin akan berkata “ Ya sudah pasti, tak diragukan lagi.” Ya bagi umat manusia tanah adalah sumber pangan, tempat berlindung, dan tempat untuk hidup. Tanah juga adalah aset ekonomi, sebuah jaring pengaman yang sangat vital atau krusial, dan bertautan dengan identitas budaya dan sosial, bahkan dianggap sebagai leluhur dan kerabat hidup.
Bagi kebanyakan orang Indonesia, tanah adalah harta benda yang paling penting, sebuah simbol status yang ditentukan oleh kekuasaan atas tanah yang dimiliki. Dengan demikian masalah kepemilikan tanah menjadi kompleks sekali. Masyarakat lemah, petani gurem masih sering dikalahkan untuk kepentingan individu ataupun kelompok yang mengatasnamakan kepentingan umum. Ketimpangan akses atas tanah dan sumberdayanya masih sangat lebar. Menurut laporan Bank Dunia tahun 2015 mencatat bahwa hanya 0,2 persen orang (Orang-orang terkaya di Indonesia) menguasai 74 persen dari tanah di Indonesia, sementara yang 99,8 persen hanya memperoleh akses atas tanah sisanya yaitu 26 persen Isu ini hingga kini ini menjadi isu yang terus mengemuka di setiap saat dari dulu hingga sekarang. Sementara di dalam ajaran Islam Al Qur’an menetapkan hak manusia untuk mengelola, menanami dan memiliki hasil produksinya. Semua ulama Islam sependapat, bahwa pemilik hakiki atas tanah adalah Allah SWT. Adapun pengertian milik pada manusia bersifat tidak hakiki malainkan majazi dan tidak mutlak.
Dalam skala global, dalam hal akses atas tanah, 21 persen dari 14, 6 milyar hektar tanah yang dapat dihuni di dunia dikuasai oleh segelintir orang-orang terkaya di dunia. Sebaliknya lebih dari seperempat orang di dunia adalah kaum tak bertanah,yang juga kaum miskin yang mayoritas tinggal di pedesaan. Akses atas tanah dan sumberdayanya, kepemilikan dan kontrol atas tanah, dan keleluasaan memberikan atau mengalihkan hak atas tanah adalah perlu bagi pemenuhan hak-hak manusia yang fundamental. Karena begitu vitalnya, dengan demiikian hak atas tanah dan sumberdayanya adalah sudah pasti merupakan hak asasi manusia. Dampak sosial dan ekonomi dari tidak memiliki akses atas tanah dan sumber dayanya adalah disamping kelaparan, juga ancaman terhadap kesehatan, tak punya rumah, eksploitasi tenaga kerja buruh, serta menciptakan kondisi eksploitasi yang intensif baik oleh pemilik tanah maupun oleh negara.
Distribusi yang tidak adil dan kurangnya akses atas tanah adalah penjelasan kunci atas kemiskinan dan kelaparan. Di banyak bagian dunia, adalah segelinitr orang-orang kaya yang memiliki tanah, bukan orang-orang miskin desa. Dan meskipun mereka punya, ketidaksetaraan didalam kekayaan dan hubungan kekuasaan membuat rakyat miskin desa menjadi lebih rentan kehilangan hak-hak mereka. Perjuangan untuk land reform, yang dapat mengangkat keseimbangan kekuasaan di dalam menyokong para petani tak bertanah yang termarjinalkan yang telah berlangsung selama banyak dekade. Biar bagaimanapun krisis pangan dan finansial-lah yang memperburuk kecenderungan kearah konsentrasi tanah. Karena pemerintah, korporasi-korporasi agro-indusri dan investor-investor swasta membeli dalam skala masif tanah-tanah subur di negara-negara miskin, mencabut para petani kecil dari kemampuan mereka menanam tanaman pangan mereka sendiri.
Kembali kepada persoalan hak atas tanah dan sumberdayanya adalah hak asasi manuisa, namun bila kita bertanya kepada pengacara atau pakar hukum apakah ada hak asasi manusia atas tanah, kita akan mendapatkan jawaban yang ambigu. Pertama. Jawaban yang umum dan legalistik adalah tidak ada hak universal yang tetulis di dalam hukum internasional hak asasi manusia, atau singkatnya bahwa tak ada hukum internasional tetulis menyebutkan hak asasi manusia atas tanah. Jawaban satunya lagi adalah ada perdebatan akan “munculnya” hak asasi manusia atas tanah, atau mungkin juga ada dan eksis namun tak dengan ekplisit diakui.
Hukum Hak Asasi Manusia Tidak Statis, Ia Ber-evolusi
Tak bisa dibantah bahwa hukum Hak Asasi Manusia menyediakan suatu kerangka legal yang melindungi hak-hak yang melekat pada setiap orang, hak-hak yang univesal, saling bersangkut paut, saling bergantung, dan tak terpisahkan. Inti dari hukum hak asasi manusia adalah satu set perjanjian internasional atau regional yang ditandatangani oleh negara-negara. Perjanjian-perjanjian ini secara eksplisitmelindungi hak-hak yang tercantum (tetulis) di dalamnya, dan pemerintah-pemerintah yang telah meratifikasi perjanjian-perjanjian tersebut mempunyai kewajiban-kewajiban yang mengikat untuk menghormati, melindingi dan memenuhi hak-hak tersebut. Kewajiban-kewajiban ini memberdayakan individu-individu sebagai “pemangku/pemegang hak” yang sah atau legal dan menjadikan pemerintah-pemerintah hanya menjadi “ pemikul tugas.” Ini menciptakan kesempatan-kesempatan yang penting (meski tak diakui secara merata) untuk menuntut pertanggung jawaban.
Jadi ketika para pakar hukum mengatakan bahwa tak ada sebuah hak universal tetulis atas atas tanah di dalam hukum internasional, itu berarti bahwa perjanjian-perjanjian hak asasi manusia internaional intinya tidak eksplisit menyebutkan sebuah hak atas tanah. Perjanjian-perjanjian ini melindungi hak-hak yang mana di dalamnya tanah bisa menjadi krusial, seperti misalnya hak atas pangan dan tempat tinggal/rumah yang layak. Beberapanya juga melindungi hak atas properti, yang sangat tidak sama dengan hak atas tanah , meskipun itu berkaitan. Namun memang hak universal atas tanah luput dari perjanjian-perjanjian tersebut.
Jangan berkecil hati dahulu, tak tetulis atau tak tercantum bukan berarti hak asasi manusia atas tanah tidak eksis atau tak mucul. Hukum hak asasi manusia tidaklah statis. Ia ber-evolusi dari waktu ke waktu melalui perjanjian-perjanjian (relatif jarang), melalui interpreatasi otoritatif dari perjanjian-perjanjian yang ada ( misalnya tribunal-tribunal hak asasi manusia), dan melalui proses yang iteratif (berulang-ulang) yang melibatkan, contohnya, kreasi, aplikasi, dan “mempertegas” hukum yang lembek (peraturan-peraturan kuasi legal yang tidak mengikat secara hukum, seperti konsensus misalnya.
Seperti pada umunya pemenrintah-pemerintah tak begitu antusias ataupun serius bahwa mereka memiliki kewajiban-kewajiban hukum perihal hak-hak yang tak mereka akui secara eksplisit di dalam perjanjian-perjanjian. Hukum internasional terkadang mengakomodir hak-hak baru yang diakui meskipun tanpa konklusi dari sebuah perjanjian baru. Hak atas air contohnya, ia tak secara tertulis didalam perjanjian-perjanjian yang mengikat sebagai sebuah hak universal. Namun setelah berdekade-dekade diperjuangkan dan himbauan-himbauan untuk pengakuan, akhirnya hak atas diinterpretasikan secara resmi menjadi sebuah pokok perjanjian hak asasi manusia di dalam resolusi-resolusi PBB. Kini ia secara luas diakui keberadaanya di dalam hukum internasional. Nah apakah hak asasi manusia atas tanah bisa menjadi yang berikutnya?
Perjuangan untuk Menggolkan Hak Asasi Manusia atas Tanah
Gerakan-gerakan sosial dan kelompok-kelompok masyarakat sipil menuntut hak asasi manusia atas tanah, yang belakangan ini diartikulasikan di dalam sebuah draf deklaasi PBB tentang buruh tani. Beberapa pengacara dan pakar hak asasi manusia berargumen bahwa hak asasi manusia atas tanah dapat ditempatkan di dalam keputusan dan pernyataan badan-badan tribunal dan perjanjian. Para ahli PBB untuk hak atas rumah dan hak atas pangan juga menuntut adanya pengakuan hukum hak asasi manusia internasional atas tanah sebagai hak asasi manusia.
Isu tanah sangat penting bagi sejumlah hak-hak yang tercantum di dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESR), dan badan atau lembaga perjanjian bertugas menerjemahkan Kovenan tersebut. Badan atau lembaga yang sama yang menerjemahkan hak asasi manusia atau air belakangan ini bekerja untuk mengembangkan sebuah pernyataan umum mengenai tanah. Pernyataan Umum ini akan menjadi langkah maju yang sangat berguna untuk menguraikan tautan antara kewajiban mengikat pemerintah dengan masalah tanah.
Sementara status hak universal atas tanah masih tetap belum jelas, hukum hak asasi manusia sudah menyediakan lebih banyak kejelasan bagi kelompok-kelompok tertentu. Masyarakat asli (Indigenous people) sebagai contoh, memiliki hak asasi manusia atas tanah dan wilayah yang jelas. Hak ini di lindungi di dalam Konvensi ILO 169 dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Msyarakat Asli, namun juga telah diterjemahkan secara resmi menjadi perjanjian, seperti ICESCR. Begitupula tribunal-tribunal hak asasi dan badan-badan hak asasi manusia telah nmenentukan bahwa kelompok-kelompok bukan masyarakat asli juga memiliki hak asasi manusia atas tanah.
Tanpa memandang status teknisnya di dalam hukum internasional, tanah adalah esensial bagi individu-individu dan masyarakat-masyarakat di seluruh dunia – suatu sumber mata pencaharian yang vital, unsur yang diperlukan bagi kehidupan yang bermartabat. Untuk itu Hak asasi manusia atas tanah dan sumber dayanya sudah sepatutnya kita kejar, diperjuangkan untuk memastikan di masa depan bahwa hak atas tanah menjadi terkait tak terpisahkan dengan hak asasi manusia.
Akses Atas Tanah Adalah juga Hak Perempuan
Selain isu global hak asasi manusia atas tanah, di dalamnya juga terdapat isu yang juga sangat penting yaitu hak perempuan atas tanah dan sumber dayanya. Hak-hak perempuan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum hak asasi manusia internasional. Di dalam persoalan tanah ini, perempuan merupakan pusat dari semua pelangggaran hak asasi manusia di seluruh dunia.
Dari akuisisi tanah berskala besar yang mengusir komunitas-komunitas tanpa kompensasi, pealnggaran batas oleh industri-industri bahan galian atau tambang terhadap tanah-tanah masyarakat asli dan komunal, urbanisasi yang tak terencana yang memaksa orang-orang hidup di dalam pemukiman-pemukiman informal yang kumuh, dampak perubahan iklim dan bencana alam atas pemanfaatan tanah dan produktifitas, sampai kepada perampasan tanah dan properti oleh kerabat atau negara, perempuan sangat terpengaruh oleh ketidakamanan kepemilikan tanah yang disebabkan oleh hukum-hukum dan praktek-praktek yang diskriminatif pada tingkatan nasional, komunitas dan keluarga. Dalam hal ini Negara seharusnya berbuat lebih dari sekedar memenuhi syarat dengan kewajibannya untuk memastikan bahwa perempuan memiliki hak yang sama, termasuk dalam akses atas tanah di dalam hukum dan prakteknya. Ini menyiratkan adopsi tindakan-tindakan untu mecegah korporasi-korporasi swasta, para investor, elit-elit lokal yang berpengaruh, organisasi-organisasi multilateral, para pelaku usaha perdagangan regional dan para anggota keluarga dari mendiskriminasikan perempuan di dalam hak-haknya untuk mengakses, memeanfaatkan, mewariskan, mengontrol dan memiliki tanah.
Adalah fakta secara global bahwa perempuan memiliki sedikit tanah dan sedikit hak yang terjamin atas tanah dibandingkan laki-laki. Rata-rata kurang dari 20 persen pemilik tanah di dunia, namun diperkirakan 43 persen adalah buruh pertanian. Diperkirakan secara global lebih dari 400 juta perempuan bekerja di pertanian. Walaupun peranan krusial perempuan di dalam pertanian, produksi pangan, dan mata pencaharian berbasis tanah lainnya, namun program distribusi tanah, reformasi agraria seringnya menyasar rumah tangga , atau menyerahkan kepemilikan tanah kepada “kepala rumah tangga” yang seringnya didefinisikan sebagai laki-laki. Ini dikarenakan perempuan tak dianggap sebagai pemilik tanah atau petani, mereka bisanya tak dimasukkan dalam program-program perluasan dan dukungan pertanian, serta kredit dan pinjaman finansial yang diperlukan untuk pemanfaatan tanah secara eefektif.
Dengan tiadanya hak penguasaan tanah, perempuan bisa terusir dari rumah mereka akibat kematian suaminya, kurangnya jalan keluar lain saat pasangan yang kasar mengusir mereka, tak dilibatkan dalam memutuskan menjual atau menyewakan tanah mereka. Tak memiliki klaim unutk kompensasi ketika tanah direbut oleh seorang investor, korporasi, atau pemerintah, atau kehilangan akses atas kayu bakar, serat, pangan atau obat-obatan dari hutan yang didesain sebagai area konservasi. Oleh karena perempuan memiliki sedikit kontrol atas tanah tempat mereka bergantung hidup, maka mereka jarang sekali di ikutkan di dalam pengambilan keputusan terhadap tanah dan lebih rentan lagi dengan pengusiran dan eksploitasi. Saat krisis atau perang pecah, hak penguasaan tanah perempuan semakin lemah, terhapusnya akses atas jasa layanan dan kompensasi yang terkait dengan kepemilikan atau pemanfaatan tanah.
Namun sebaliknya ketika perempuan memiliki hak penguasaan tanah, banyak faedah datang mengikuti. Makin kuatnya hak perempuan atas tanah dan aset-aset produktif main naik statusnya, kondisi hidup yang menngkat, gizi yang lebih baik dan berdaulat pangan, kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, penghasilan dan tabungan yang lebih banyak, dan akses yang lebih baik atas kredit, juga perlindungan yang lebih baik dari kekerasan gender.
Hak yang sama bagi perempuan atas tanah dan properti didasarkan pada instrumen-instrumen hak asasi manusia yang pokok, termasuk Universal Declaration of Human Rights, Kovenan internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan politik, dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dan World Conference on Women’s Beijing Declaration and Platform of Action, semuanya menekankan pada perlunya untuk kesetaraan di dalam menikmati hak atas tanah dan properti, termasuk hak untuk mengakses, memanfaatkan, mewarskan, mengontrol dan memiliki tanah sendiri. Untuk meraih kesetaraan gender, Negara mesti mememnuhi kewajiban mereka untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Mekanisme-mekanisme hak asasi manusia lainnya dan badan-badan PBB menilai bahwa hak tanah bagi perempuan adalah esensial untuk meraih kesetaraan yang subtantif dan untuk pemberantasan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan merupakan prasyarat fundamental bagi realisasi dari hak-hak untuk hidup berstandar layak, termasuk pangan dan rumah, kesehatan, kerja, identitias budaya, dan partisipasi di dalam kehidupan sipil dan politik.
Lebih jauh lagi, tujuan-tujuan global yang ditetapkan oleh Agenda Sustainable Development Goals mengakui hak atas tanah bagi perempuan sebagai katalis eksplisit untuk mengakhiri kemiskinan.
Namun sangat disayangkan bahwa disamping semua dukungan dan komitmen internasional, perempuan masih terus saja dipungkiri hak-haknya untuk mengakses, memanfaatkan, mewariskan, mengontrol dan memiliki tanah. Dan agar perempuan bisa menikmati hak-hak mereka di dalam praktek, Negara mesti segera mengganti hukum dan norma-norma sosial yang menghambat hak perempuan atas tanah dan sumber dayanya di lebih dari setengah dunia.
Dan dengan demikian hak atas tanah bagi perempuan adalah sangat penting bagi demokrasi, perdamaian, keadilan, pembangunan berkelanjutan.
Oleh: Mohamad Irvan