Press "Enter" to skip to content

Menikmati ”HaHaHa” Karya Putu Wijaya di YouTube

Oleh: Kemala Atmodjo

Seperti biasa, drama-drama karya Putu Wijaya selalu mengoda penontonnya untuk merenung lebih dalam atau melakukan pencarian lebih jauh tentang cerita yang dipentaskan. Kali ini, pementasan berjudul HaHaHa yang disiarkan melalui channel Youtube Indonesiakaya, 9 April lalu, melakukan hal yang sama.

Meski judul HaHaHa  bisa menimbulkan kesan sekadar “humor” atau “sekadar mau melucu”, tetapi sesungguhnya ia memperbincangkan masalah kehidupan yang sudah lama menjadi permenungan banyak pemikir ternama. Kali ini, menurut saya, tentang kebebasan. Apa itu kebebasan? Apa benar manusia memiliki kebebasan? Bagaimana kita memakai kebebasan dalam kehidupan nyata?

Setelah sebuah puisi yang cukup bagus diperdengarkan, drama dimulai dengan narasi yang dibacakan oleh Jose Rizal Manua tentang kondisi pasangan suami-istri yang menjadi tokoh sentral cerita. Pak Amat yang semakin tua itu makin lengket pantatnya ke kursi. Ia menghabiskan wakunya dengan membaca koran, menyimak televisi, dan membaca buku. Hidupnya dikunci. Kehadirannya yang tak hadir jadi menggondeli.

Sementara Bu Amat yang mendapat warisan nomplok dari pamannya justru kebalikannya. Tiba-tiba dia menjadi beringas oleh sesal, merasa telah menyia-nyiakan waktu. Melewatkan waktunya, hari-harinya, di bawah bayang-bayang suami. Ia pun membeli berbagai macam perhiasan dan tidak membiarkan waktu berlalu tanpa aktivitas.

Selanjutnya adalah dialog-dialog antara Pak Amat dan istrinya tentang aneka masalah yang sesekali lucu, tetapi juga pedih. Istrinya yang sudah bersiap untuk pergi itu berpesan kepada suaminya, jika menginginkan sesuatu, hubungi saja Ratu, pembatu barunya. Masalahnya, bagaimana kalau Pak Amat ingin kemesraan? “Ini adalah pertanyaan terakhir yang paling penting. Tapi tidak pernah dijawab,” kata Pak Amat. “Kalau mau kemesraaan?” teriak Pak Amat lagi.

Atas atas perintah sang istri, pak Amat diantar ke Wisma Jompo Oma & Opa. Ratu dengan retorikanya mencoba mengelabuhi Pak Amat bahwa wisma dengan segala fasilitasnya itu bagaikan hotel bintang lima. Jadi itu adalah anugerah. Tapi pak Amat tahu bahwa itu adalah cara istrinya untuk “membuang”-nya,  mengisolasikannya di penjara kaum jompo itu, agar sang istri bebas menikmati masa pubernya yang keempat. “Aku tidak sebodoh yang dia sangka,” kata Pak Amat.

Di sini dialog-dialog khas Putu Wijaya yang menggedor pikiran penonton mulai disemburkan. Misalnya, “Ratu, jaga baik-baik, Tante. Dia tidak sadar sedang mendaki ke mulut iblis. Kebebasan itu cemerlang sebelum didapat. Tapi membingungkan setelah di tangan. Lalu menyesatkan kalau sudah mulai berkuasa,” kata Pak Amat berpesan ketika Ratu yang hendak kembali pulang ke rumah. Dialog itu menyiratkan keyakinan bahwa kebebasan harus disertai tanggung jawab. Orang harus berhati-hati menggunakan kebebasannya.

Setelah suaminya di wisma jompo, Bu Amat merasa merdeka. Selama ini ia merasa seluruh hidupnya hanya dedikasikan untuk suaminya. Dan selalu dicurigai. Bahkan mau beli gula ke warung saja diinterogasi. Kini ia merasa bebas. “Apa perempuan tidak boleh cari kesengangan?” kata Bu Amat. “Apa gunanya Raden Ajeng Kartini berkoar-koar tentang emansipasi dan kesetaraan kalau pada kenyataannya perempuan tetap di bawah telapak kaki laki-laki.” Meski tidak diperdalam, tampaknya Putu juga ingin bicara tentang kesetaraan gender.

Ketika Bu Amat menjenguk ke Wiswa Jompo, ia menyadari bahwa pak Amat ternyata menikmati tinggal di sana. Di tempat baru itu itu ia punya banyak penggemar. Bu Amat seperti iri dan menyesali apa yang dia lakukan. Ia mulai mempertanyakan kebebasannya sendiri.

Menurut saya, alur cerita “HaHaHa” ini lebih mudah untuk diikuti jika dibanding beberapa karya drama Putu sebelumnya. Babak demi babak mengalir dengan enak dan tidak rumit. Namun, naskah yang sekilas tampak ringan itu sesungguhnya juga memancing permenungan yang dalam. Kata “kebebasan” yang diucapkan berkali-kali itu telah lama menjadi perbincangan banyak pemikir, terutama dalam hubungannya dengan eksistensi manusia dan moralitas.

Kaitan antara manusia dan kebebasan, setidaknya dalam diskursus tentang moralitas,  terdapat 2 (dua) paham besar yang saling berlawanan, yakni mereka yang percaya bahwa manusia memiliki kebebasan (dengan demikian dia bisa dimintai pertranggungjawaban moral), dan mereka yang tidak percaya bahwa manusia memiliki kebebasan dari asalnya (dengan demikian pertanggungjawaban etis menjadi tidak mungkin atau setidaknya dilematis).

Paham yang menolak adanya kebebasan pada manusia biasa disebut sebagai paham determinisme, yang terbagi dalam 4 (empat) aliran utama: Determinisme Biologis; Determinisme Psikologis; Determinisme Sosial; dan Determinisme Teologis.

Secara singkat (sebab masalah ini sudah banyak ditulis orang), bagi penganut determinisme biologis, tingkah laku manusia itu ditentukan berbagai faktor biologis yang diturunkan. Interaksi fisiologis dan hukum-hukum biologis menentukan apa yang akan dilakukan manusia dalam dunia nyata. Watak, kebiasaan, tingkah laku, bisa diterangkan berdasarkan struktur biologis itu. Orang yang suka mencuri atau melakukan tindak kekerasan, misalnya, harus dilihat struktur biologisnya dan jika mungkin diobati. Dengan demikian apa yang disebut dengan kebebasan menjadi tidak ada artinya karena  tingkah laku seseorang sebenarnya sudah ditentukan oleh struktur genetiknya.

Bagi penganut determinisme psikologis, tingkah laku manusia itu ditentukan oleh unsur-unsur bawah sadar. Hanya tampaknya saja – atau seolah-olah saja – manusia bebas memilih tindakan apa yang diinginkan. Para psikoanalis sering mendengungkan bahwa tekanan bawah sadarlah yang sebenarnya menjadi pendorong utama tindakan manusia. Hampir seluruh tindakan manusia itu sebenarnya ditentukan oleh dorongan terkuat di dalam dirinya. Maka tangung jawab moral juga sulit dituntut kepada mereka apabila melakukan kesalahan.

Sedangkan bagi penganut determinisme sosial, tingkah laku manusia itu ditentukan oleh lingkungan atau struktur sosial yang mengelilinginya. Misalnya, strukur ekonomi dan struktur sosial-politik masyarakatnya. Seseorang tidak bisa lepas dari hubungan sosialnya. Watak dan tingkah laku seseorang merupakan hasil penentuan dari lingkungan fisik dan sosial orang tersebut. Anda tentu ingat ungkapan umum yang sering terdengar, bahwa manusia tidak hidup dalam ruang hampa udara. Dia hidup dalam dunia nyata yang berstruktur dengan aneka norma. Maka ia tidak bisa dipersalahkan begitu saja apabila ia melakukan suatu tindakan yang diangap tidak baik.

Terakhir, bagi penganut determinisme teologis, manusia yang hidup di dunia ini tak lebih dan tak kurang hanyalah “wayang”, “pelakon”, “boneka” (atau yang sejenisnya) dalam sebuah lakon atau cerita yang sudah ditentukan sebelumnya oleh “Sutradara Besar” (ada yang  menyebutnya sebagai Tuhan, Dewa atau Kekuatan Lain). Nasib manusia sudah tersurat dalam rencana sang Sutradara. Segala sesuatu sudah ditentukan olehNYA, sehingga manusia tinggal menjalankan saja apa yang sudah digariskan.

Nah, berbeda dengan penganut aneka determinisme di atas, adalah mereka yang percaya bahwa manusia tetap memiliki kebebasan dalam dirinya. Manusia bebas memilih dan melakukan tindakan-tindakan konkret di dunia nyata. Meski faktor-faktor lain (biologis dan sosial) ikut menentukan kelakukan manusia, tetapi ia tetap memiliki kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dengan demikian manusia bisa bertanggung jawab atas perbuatannya. Maka masuk akal pula jika pada manusia dikenakan tuntutan etis atau diharapkan bertindak sesuai moralitas tertentu.

Para tokoh dalam drama “Hahaha”, seperti sudah saya singgung di atas,  masih percaya bahwa manusia memang memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu. Persoalannya paling-paling bagaimana ia menyadari (atau menemukan) kebebasan itu. “Kebebasan itu tidak perlu diburu, sebab dia ada di dalam hatimu,” kata suami Ratu. Dialog itu menandaskan bahwa kebebasan memang secara alami masih dimiliki oleh manusia.

Manusia, karena akal budinya, berbeda dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan lainnya. Ia tidak sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor di luar kemampuannya. Ia bisa mengambil sikap dan memilih mana di antara beberapa kemungkinan yang ada untuk dipilih. Maka kebebasan berarti kemampuan kehendak manusia untuk memilih dan menentukan dirinya, menentukan tindakannya.

Tetapi kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensi yang pantas dicita-citakan oleh setiap manusia, seperti dikatakan J. Sudarminta dalam kajiannya tentang masalah pokok etika, tidak berarti kita bisa bertindak sesuka hati atau lepas dari kewajiban apapun. Bagi orang yang membiarkan hawa nafsu dan nalurinya tidak terkekang sama sekali, akhirnya hanya akan jatuh seperti hewan. Ia menjadi budak hawa nafsunya.

Kebebasan yang sejati adalah kebebasan yang disertai tanggung jawab. Kemampuan kita untuk memilih harus dijalankan secara bermakna. Sikap dan tindakan kita harus kita pertanggungjawabkan terhadap nilai-nilai kemanusiaan .Juga terhadap tugas yang menjadi tugas kita, dan terhadap harapan orang lain. Menolak untuk bertanggung jawab atau tidak mau melaksanakan apa yang diyakini sendiri sebagai kewajiban obyektif, tidak membuat orang menjadi kebih bebas. Otonomi manusia yang sejati itu bukan otonomi mutlak tanpa batasan.

Otonomi manusia yang sejati itu selalu otonomi yang dihayati dalam korelasinya dengan kenyataan obyektif yang melingkupi dirinya. Kenyataan obyektif itu, misalnya dicerminkan oleh adanya norma-norma moral yang secara obyektif mengikat atau menjadi kewajiban manusia.

Maka orang yang bersedia bertanggung jawab, sesungguhnya semakin kuat dan bebas. Semakin ia bertanggung jawab, kata Sudarminta lagi, semakin ia kuat dan terlatih untuk mengatasi segala halangan dan kelemahan. Kemampuan untuk berkorban demi suatu tujuan luhur membuat kita semakin tangguh dan bebas.

Jadi sikap moral semacam apa yang sebaiknya diambil atau dilakukan manusia dalam kehidupan nyata? Mengikuti Immanuel Kant, jawabannya adalah sikap moral yang otonom. Apa itu? Sikap moral yang otonom adalah menentukan hukum sendiri sesuai akal budinya. Ia menaati hukum yang ia sendiri setujui atau kehendaki. Norma moral itu ia setujui sebagai norma yang baik dan pantas menjadi kewajiban semua orang.

Sikap moral otonom ini lawan dari sikap moral heteronom. Sikap moral heteronom adalah sikap yang mana orang melakukan kewajiban moralnya bukan karena ia sadar bahwa kewajiban itu memang pantas dilakukan, melainkan karena merasa terpaksa harus mengikuti – dengan berbagai alasannya. Sedangkan sikap moral otonom itu adalah melakukan sesuatu yang baik dan menghindarkan yang jahat berdasarkan keinsyafannya sendiri. Bukan karena dibebankan dari luar akal budinya.

 

Kemala Atmojo di New York (Koleksi Pribadi)

Singkatnya, bagi Kant, bertindak secara moral adalah jika kita bertindak demi kewajiban atau hukum yang kita yakini baik. Hanya tindakan demi kewajiban itulah yang bernilai moral. Maka, “Bertindaklah semata-mata menurut suatu kaidah yang kau inginkan sekaligus dapat menjadi hukum universal”.  Setiap norma atau kaidah harus sedemikian rupa sehingga si penutur dapat menghendaki agar norma tersebut menjadi hukum universal yang berlaku bagi siapa saja. Jadi bukan norma yang ditentukan secara semena-mena oleh pihak lain.

Akhirnya, adakah kaitan antara kebebasan, moralitas, dengan kebahagiaan? Mungkin kita harus tunggu drama Putu Wijaya berikutnya. Di sana nanti kita  bisa melihat, menyandingkan, atau membandingkan, pemikiran Putu Wijaya dengan Ki Ageng Suryomentaram, Aristoteles, Thomas Aquinas,  penganut Stoikisme (Epiktetos dan Marcus Aurelius), atau para pemikir lainya.

* Kemala Atmodjo: Penikmat Seni.

5 Comments

  1. Woah! I’m really loving the template/theme of this website.
    It’s simple, yet effective. A lot of times
    it’s hard to get that “perfect balance” between user friendliness and appearance.

    I must say that you’ve done a fantastic job with this. Additionally, the blog loads
    extremely quick for me on Safari. Excellent Blog!

  2. I’m not that much of a internet reader to be honest but your blogs really nice,
    keep it up! I’ll go ahead and bookmark your website to come back down the road.
    Cheers

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Mission News Theme by Compete Themes.