Oleh: Kemala Atmojo
Ada kabar gembira datang dari Philadephia Asian American Film Festival (PAAFF), yang berlangsung mulai 3 sampai 13 November 2022. Salah satu film dokumenter karya diaspora Indonesia terpilih sebagai salah satu dari enam film kategori Short Program. Judulnya “Living the Silent Dream” (LSD), produksi kerjasama tim Indonesian Lantern (Indah Nuritasari, Didi Prambadi, Wiharta Lim) dengan Deddy Raksawardana selaku sutradara. Film berdurasi 26 menit ini adalah kisah nyata perjuangan hidup warga Indonesia yang tinggal di Philadelphia sejak awal tahun 2000.
Film dibuka dengan pemandangan jembatan Benjamin Franklin, yang namanya diambil dari salah satu pendiri Amerika Serikat. Lalu muncul seorang narator (Deddy Raksawardana) yang membuka cerita. Katanya, jembatan itu, bagi lebih dari dua ribu orang asal Indonesia adalah jembatan yang melambangkan sebuah harapan, kesempatan, untuk hidup lebih baik. “Mari kita dengarkan kisahnya dari mereka sendiri baik yang berhasil maupun tidak. Inilah kehidupan imigran Indonesia yang tinggal di Philadephia,” katanya.
Philadelphia memang salah satu kota tujuan bagi imigran Indonesia, selain Los Angeles dan Manhattan. Mereka datang untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Begitu juga alasan bagi imigran dari berbagai negara Eropa dan negara lain lebih dari dua ratus tahun lalu. Pada 1990-an, belum banyak orang Indonesia yang tinggal di Philadelphia. Sebagian yang datang ke sana adalah para mahasiwa yang hendak melanjutkan pendidikan. Di kota ini memang ada beberapa universitas yang cukup dikenal. Misalnya, Drexel University, University of Pennsylvania, Temple University, dan lain-lain.

Lalu, di film yang ceritanya berdasarkan tulisan panjang Didi Prambadi ini, muncul Noni Mastra, CEO Kids Smiles, yang menjelaskan soal Komunitas Indonesia sesuai ingatannya. Kemudian pastor Aldo Siahaan (Philadephia Praise Center), lalu keluarga pemilik restoran Indonesia (Iwan Santoso, Susanta, Willard Santoso), pastur Beny Krisbianto (Co Chair Indonesian Diaspora Network), dan seterusnya.
Semuanya menceritakan pengalamannya ketika pertama kali datang ke Philadelphia, apa saja yang dialami, dan keadaan saat ini. Yang menarik, sebagian dari imigran Indonesia ini adalah korban kerusuhan tahun 1998 yang terjadi di Indonesia. Mereka datang ke Amerika untuk meminta suaka politik dan tinggal di sana hingga sekarang. Sebagian sudah menjadi warga Amerika Serikat dan sebagian memegang Green Card Khusus. Beberapa kisah dari korban kerusuhan di Jakarta memang terdengar tragis.

Satu yang ditampilkan dalam film ini adalah kisah Daisy Widjaja (Indonesian Interpreter at Language Line Solutions). Dia memiliki restoran di sebuah plaza yang dibakar massa. Hotel di depan rumahnya juga habis terbakar. “Do I have to live on that fear? I don’t want to live on that fear anymore,” katanya.
Krisis ekonomi yang terjadi pada akhir 1990-an yang diikuti dengan kerusuhan massal pada 1998. Presiden Soeharto yang telah memimpin selama 32 tahun mengundurkan diri. Kerusuhan terjadi. Banyak warga etnis Tionghoa yang mengalami kekerasan baik fisik maupun psikis. Sebagian dari mereka itulah yang kemudian mencari suaka politk ke Amerika Serikat.

Tinggal di Amerika Serikat memang punya beberapa kelebihan. Di sana orang tidak peduli dengan apa agama Anda, orientasi politik dan seksual Anda, serta bisa bebas mengespresikan diri. Tetapi hidup di Amerika juga tidak berarti bisa “seenak udel” sendiri. Minimal dokumen legal harus dimiliki. Jika tidak bisa terkena masalah hukum atau dideportasi. Belum lagi menghadapi segelintir orang-orang rasis yang masih eksis.

Sebagai sebuah usaha dari diaspora untuk mendokumentasikan beberapa orang Indonesia di Philadelphia dengan permasalahannya, film ini layak untuk diapresiasi. Gambar-gambar panoramik kota Philadelphia di awal film cukup bagus. Tetapi, sebagai “karya seni”, meskipun sebuah film dokumenter, LSD masih terlihat sederhana.
Untunglah ada footage dari Ferry Santoro, meskipun pendek, cukup menambah nilai dramatik film ini. Juga liputan soal demonstrasi warga Asia yang menuntut persamaan hak. Selebihnya, film ini didominasi oleh statement dari narasumber. Lebih bagus lagi kalau sebelum statement diawali dengan adegan kegiatan mereka masing-masing. Tapi, mau bagaimana lagi, barangkali biaya produksi film ini juga tidak besar dan crew yang terbatas.

Akhirnya, sekali lagi, semangat dari Indonesian Lantern dan Deddy Raksawardana, layak dihargai. Saya percaya suatu kali kolaborasi di antara mereka bisa menghasilkan film yang lebih baik lagi. Selamat berkarya.
- Kemala Atmojo, Pencinta Film.
Be First to Comment