Press "Enter" to skip to content

Inilah Gita Noerwardhani Perempuan Pendekar Sampah Asal Garut

Kulit telur yang telah hancur ditumbuk, kemudian ditaburkan ke beberapa tanaman di halaman rumahnya. “Bubuk kulit telur ini memiliki nutrisi yang bagus untuk tanaman,” ujar Gita Noerwardhani yang dihubungi di Bandung, awal Februari 2023. Aktivitas sehari-harinya itu, adalah contoh sederhana memilah sampah yang dilakukan di lingkungan rumahnya. “Sekarang, malah ibu saya yang sudah sepuh, yang rajin memisahkan kulit telur itu untuk jadi pupuk tanaman,” katanya sumringah.

Sulung tiga bersaudara ini, dikenal dengan gerakan penanganan sampah  tuntas di rumah sendiri. Rumahnya menjadi ‘pilot project’ dalam penanganan sampah  rumah sendiri. Tak hanya asisten rumah tangga yang kini terbiasa memilah sampah. Bahkan sang ibu, namanya sudah terdaftar menjadi anggota Bank Sampah di lingkungan rumahnya.



Bersama kawan-kawannya dari Universitas Sangga Buana, Gita sedang menyusun gerakan edukasi dan pendampingan dalam memilah sampah pada masyarakat di sekitarnya. Perhatiannya mulai terusik dengan sampah dedaunan yang menimbun di area Jalan Sekeloa, Bandung. “Banyak sekali sampah daun-daun yang berserak di sana. Kalau diangkut pakai bentor atau becak motor, bisa sampai empat balikan dalam sehari,” ujarnya gemas.

Tapi sampah daun itu memang tidak bisa diangkut petugas. Karena, menurut Gita, sampah daun bisa menjadi penyebab pembusukan di TPA atau Tempat Pembuangan Akhir. “Sampah dedaunan kalau tercampur dengan jenis sampah lainnya, bisa menyebabkan pembusukan yang mengakibatkan munculnya bau ke mana-mana,” kata sulung dari tiga bersaudara ini.

Gita kini sedang menyusun gerakan edukasi dan pendampingan dalam memilah sampah pada masyarakat di sekitarnya. Juga edukasi pengolahan daun-daun itu menjadi kompos. “Sekarang sedang dalam tahap perijinan ke yang berwenang dulu,” ujar lulusan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada tahun 1993 ini.

Kepeduliannya terhadap sampah, telah terbangun sejak lama. Sosok kelahiran Garut 1968 ini mendirikan Yayasan Paragita, lembaga yang peduli terhadap lingkungan, kesehatan, dan Usaha Kecil Masyarakat. Gita dan Paragita bergerak dengan cara yang menurutnya lebih mengena dan mendasar “Saya melakukan roadshow dari desa ke desa untuk melakukan edukasi, pelatihan dan pendampingan terhadap masyarakat langsung,” kisahnya.

Dengan cara tersebut, Gita berhasil mendidik warga di 110 desa di Garut, Jawa Barat. Juga 103 desa di Kabupaten Tulangbawang Barat (Tubaba), Lampung, Sumatera Selatan. Sambutan masyarakat hampir semua antusias. Di Kecamatan Tumijajar, Kabupaten  Tubaba, misalnya. Saat itu, suatu hari di Juni 2021, para guru penggerak yang terdiri dari ibu-ibu, antusias berkumpul mendengarkan pendampingan dari Gita.



Ada empat hal, yang membuat sampah selalu menjadi kendala. Pertama perilaku atau budaya masyarakat secara personal. “Yaitu, budaya buang sampah sembarangan, buang sampah ke sungai, buang sampah ke tanah kosong, bakar sampah,” katanya menerangkan. Kedua, semakin banyak iklan yang membuat masyarakat nyaman. Semakin konsumtif masyarakat dan semakin banyak tumpukan sampah dimana-mana. Ketiga, kurangnya kesadaran masyarakat memilah sampah dari rumah sendiri. Keempat, kebijakan pemerintah yang tidak dijalankan secara sungguh-sungguh, baik terhadap masyarakat langsung maupun terhadap dunia usaha yang menghasilkan produk berkemasan.

Menurut Gita, kebijakan pemerintah menjadi kendala nyata dalam pengelolaan sampah saat ini. Walaupun pihak pemerintah daerah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan, tetapi keseriusan dalam palaksanaan di kalangan masyarakat masih kurang. Buktinya? Penanganan sampah tidak tuntas. Sampai saat ini, masih saja ada yang buang sampah sembarangan. “Buang sampah pun masih dicampur, Tempat Pembuangan Akhir atau TPA masih bergunung-gunung (sampahnya),” ujar Gita.

Dalam kurun waktu tiga bulan pada 2022, Gita berhasil membudayakan pilah sampah di beberapa pasar tradisional di Tubaba.  “Salah satunya Pasar Pulung Kencana. Para pedagangnya sudah mulai memisahkan sampah organik dan non organik. Sampah organik pasar tradisional itu punya materi bagus untuk pembuatan kompos berkualitas. Apalagi, sampahnya ada daging, sayuran dan lain-lain yang punya nutrisi tinggi buat pupuk organik,” katanya.

Sayangnya, kebiasaan memisahkan sampah itu sepertinya mandek saat ditinggal Gita. “Proses pendampingan memang tidak bisa hitungan bulan apalagi hari,’’ katanya. Salah satunya, misalnya memberikan rewards terhadap mereka yang peduli. Memicu semangat itu sangat penting,” ujarnya dengan nada yang sulit digambarkan. “Saya hanya bisa tetap bergerak menangani sampah. Juga mencoba tetap memberikan semangat kepada para pelaku penanganan sampah di daerah binaan. Paling tidak mereka terus bergerak dan tidak putus asa,” katanya.

Meski ada kisah tak sesuai rencana, titik cerah mulai terlihat. Beberapa wilayah binaannya sudah memilah sampah secara konsisten. Hasilnya? Iuran bulanan atau kematian tidak perlu keluar uang dari saku penduduk, tapi dari keuntungan Bank Sampah. “Masih kecil sih, Tapi, mereka sudah merasakan manfaatnya,” ujar Gita yang juga pernah terpilih menjadi salah satu pemimpin Perempuan dalam Program Akselerasi Akar Rumput  yang diadakan Women’s Earth Alliance (WEA).

Gita Noerwardhani (Foto: Dokumentasi WEA)

Beberapa jejak lain berhasil dilakukannya. Di daerah Garut, misalnya, Gita berhasil membuat lima Bank Sampah dalam kurun waktu enam tahun. Sementara di Tulangbawang Barat, Lampung, Gita berhasil membuat 10 Bank Sampah dalam kurun waktu tiga tahun.

Eksistensinya di WEA, organisasi wanita dunia yang berpusat di Barkeley USA ini, pun membuat perempuan berambut keriting ini merasa bergerak tak sendirian lagi. “Ada satu lembaga yang bisa saya gunakan sebagai tempat mengadu, belajar atau pun berbagi,” katanya. Sosok yang seringkali berjalan sendirian ini, mengakui keberadaan sebuah organisasi seperti WEA ini membuatnya lebih semangat membina sebuah daerah. “Ini terbukti, hingga detik ini, Tubaba tetap menjalankan kegiatan dalam menangani sampahnya,” katanya senang.

Karena itu pula, selain program pengelolaan sampah, di setiap area dalam titik roadshow-nya, Gita juga mencoba mengangkat potensi desanya. Di Garut, misalnya, Gita pernah  mengangkat bambu menjadi alat makan ramah lingkungan. Kemudian di Tubaba, bersama WEA, Gita mengubah gedebog pisang menjadi kerajinan tangan, kertas serta serat kain. Kini, bersama salah satu organisasi anak muda di Bandung The Local Enablers (TLE), Paragita bakal membina komunitas di Lampung Tengah untuk mengolah sampah daun nanas.

Proses panjang masih diperlukan. Kini, memang belum terlihat hasilnya. Tapi, paling tidak, menurut Gita, kegiatan ekonomi kreatif tersebut, bisa membentuk unit usaha di masyarakat yang bisa mendukung kegiatan bank sampah di daerah tersebut.Kegiatan ekonomi kreatif yang diusungnya, mungkin bisa mewujudkan harapannya itu. Apalagi, Gita juga dikenal piawai menjalin komunikasi dengan masyarakat, stake holder, dan pejabat.



Dan, Gita juga tetap bertekad bakal terus mengusung Gerakan Penanganan Sampah Tuntas di Rumah Sendiri yang selalu digaungkannya. Dalam setiap pelatihan dan pendampingannya, selalu ada pesan khusus untuk para peserta. “Mulai hari ini, ketika pulang ke rumah, kita mulai pilah sampah di rumah,” katanya yang juga ingin membuka mata dunia, bahwa penanganan sampah ini bisa dilakukan secara sederhana. Yaitu mulai dari diri  sendiri, dengan niat sendiri, dari rumah sendiri. (Artikel: Susandijani).

 

Be First to Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Mission News Theme by Compete Themes.