Press "Enter" to skip to content

Nasib Suriah Setelah Dikuasai Kelompok Hayat Tahrir Al-Sham

Bau mesiu masih menggantung di udara Damaskus. Suka cita menyelimuti ibukota Suriah, setelah Bashar al Assad melarikan diri ke Rusia. Bendera Suriah berwarna merah putih hitam dihiasi dua bintang dicampakkan, diganti dengan warna sama tapi kini dihiasi tiga bintang yang melambangkan kemerdekaan Suriah.

Dunia internasional dikejutkan dengan perkembangan politik di Suriah yang berlangsung begitu cepat dan dramatis. Hanya dalam waktu 11 hari sejak pasukan pemberontak Hayat Tahrir Al-Sham (HTS) melancarkan serangan kilat ke Aleppo pada 27 November 2024, Bashar Al Assad terguling dari kursi kekuasaannya. Presiden yang berkuasa selama lima dekade itu pergi meninggalkan negaranya, sesaat sebelum ibu kota Damascus jatuh ke tangan pasukan pemberontak.

Abu Muhammad Al-Golani (Video CNN)

Peristiwa itu melambungkan nama Hayat Tahrir Al-Sham (Organisasi Pembebasan Levant), salah satu organisasi bersenjata yang melancarkan pemberontakan terhadap rezim Assad sejak 2011. Sosok Abu Muhammad Al-Golani, sang pemimpin, juga menjadi sorotan publik internasional.

Kelompok gabungan dari berbagai faksi itu, kini mengendalikan sebagian besar wilayah negara berjuluk Craddle of Civilazation itu. Secara de facto, HTS dan Al-Golani menjadi pemegang kekuasaan di Suriah pasca keruntuhan pemerintahan Assad. Proses politik peralihan kekuasaan dan masa depan negara salah satu pendiri Liga Arab itu, berada di tangan mereka.

Berikut ini profil  Abu Muhammad Al Golani, Pemimpin Baru Suriah

Abu Muhammad Al-Golani lahir di Riyadh, Arab Saudi, pada 1982, dengan nama asli Ahmed Hussein Al Sharaa. Ayahnya seorang insinyur perminyakan asal Suriah, tepatnya dari wilayah Golan. Pada 1989 mereka kembali ke Suriah dan menetap di Damascus. Di sana kehidupan Al-Golani tak banyak diketahui sampai ia pergi ke Irak pada 2003 di mana ia bergabung dengan Al-Qaeda sebagai bagian dari perlawanan terhadap invasi Amerika Serikat. Pada 2006 Al-Golani ditangkap oleh pasukan Amerika Serikat dan dipenjara selama 5 tahun. Ia dibebaskan tak lama setelah meletus pemberontakan bersenjata di Suriah yang dipicu oleh represi aparat militer pemerintah dalam memadamkan aksi unjuk rasa “Arab Spring” yang menuntut demokratisasi.

 

Al-Golani kembali ke Suriah dan mendirikan organisasi teroris bernama Jabhat Al-Nusra (Front Kemenangan) dengan tujuan menggulingkan rezim Assad. Kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda itu beroperasi di provinsi Idlib di barat laut Suriah dan telibat pertempuran sengit melawan tentara pemerintah. Pada saat itu, selain dengan Free Syrian Army (FSA) yang merupakan sayap militer jaringan Ikhwanul Muslimin, Al-Golani juga menjalin aliansi dengan beberapa organisasi lainnya yang sama-sama anti-Assad, termasuk dengan Islamic State in Iraq (ISI) pimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi.

Gabungan dari berbagai faksi pemberontak yang mendapat dukungan dari Turkiye, Arab Saudi, dan Qatar itu, sempat meraih kemajuan militer yang signifikan dengan merebut beberapa kota penting, termasuk Aleppo.

Namun pada 2013 terjadi perpecahan antara Jabhat Al-Nusra dan ISI menyusul keputusan Al-Baghdadi memperluas cakupan negara Islam yang hendak didirikannya hingga ke Suriah, dan mengubah nama organisasinya menjadi Islamic State in Iraq and Syria (ISIS). Al-Baghdadi menuntut peleburan Jabhat Al-Nusra ke dalam ISIS. Permintaan itu ditolak oleh Al-Golani yang memiliki cita-cita perjuangan terbatas pada penggulingan Presiden Bashar Al- Assad dan pembentukan negara Islam Suriah.

Screenshot

Perbedaan orientasi politik ini memicu perang terbuka antara Jabhat Nusra dan ISIS yang sebagian petempurnya berasal dari berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Perpecahan internal di kalangan pemberontak membuat Syrian Arab Army (SAA), tentara nasional Syria yang setia kepada Assad, berhasill merebut kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya di bawah kendali para pemberontak. Pada 2016, dengan dukungan Rusia dan Iran, pemerintahan Assad berhasil mengisolasi pemberontak di kota Idlib.

Perang brutal yang berkobar selama 5 tahun antara tentara pemerintah nasioanalis Arab sekuler Suriah pimpinan Assad melawan pasukan pemberontak Islamis, dan juga perang antar sesama pemberontak Muslim Sunni, serta pembantaian terhadap warga sipil Muslim Syiah, Kristen, dan Yazidi, telah menewaskan lebih dari 500.000 orang. Menurut laporan komisi penyelidik PBB dan Amnesty International, baik pemerintahan Assad maupun pihak pemberontak sama-sama telah melakukan kejahatan kemanusiaan.

Menyusun Kekuatan dan Mengubah Citra

Di Idlib, Al-Golani kembali menyusun kekuatan dan strategi. Ia merekrut ribuan kombatan yang mengalir ke kota itu di bawah nama baru Jabhah Fateh Al-Sham (Front Kemenangan Levant). Pada 2017 Al-Golani berhasil menyatukan kelompok-kelompok pemberontak yang terpecah dalam berbagai faksi ideologi ke dalam satu wadah organisasi bernama HTS.

Di bawah kepemimpinannya, HTS secara efektif bertindak sebagai otoritas yang memberikan layanan kesehatan, pendidikan, dan kemanan bagi sekitar empat juta juta penduduk di wilayah itu.
HTS menegakkan hukum Islam yang relatif longgar dan menjalin hubungan dengan komunitas Kristen dan non-Muslim lainnya.

Al-Golani mengubah penampilannya dari seorang “jihadis” menjadi pemimpin pemberontak moderat berpakaian barat. Hal itu ia lakukan sebagai bagian dari upayanya untuk menghapus stigma teroris yang melekat pada dirinya. Ikhtiar mengubah citra itu juga sebagai upaya menjaring simpati internasional atas perjuangannya melawan rezim Assad.

Abu Muhammad Al Golani saat wawancara CNN.

Dalam wawancaranya dengan media PBS pada 2021, Al-Golani mengatakan bahwa kelompoknya tidak menjalankan jihad global ala Al-Qaeda, melainkan fokus pada upaya menggulingkan presiden Bashar Al-Assad. Ia menekankan bahwa AS dan negara-negara Barat memiliki tujuan yang sama dengan dirinya.
“Wilayah ini tidak merepresentasikan ancaman keamanan kepada Eropa dan Amerika,” katanya.

Dengan gaya kepemimpinan Al-Golani yang efektif dan strategi politiknya yang jitu, diam-diam HTS tumbuh menjadi kekuatan politik dan militer tangguh yang mampu memberikan kejutan kepada dunia. Memanfaatkan momen melemahnya posisi negara-negara pendukung Assad; yaitu Iran yang sedang berkonflik dengan Israel dan Rusia yang sedang sibuk menghadapi Ukraina, HTS melancarkan serangan cepat, terorganisir, dan besar-besaran ke jantung kekuasaan Assad di Damascus.

 

Sekarang Rezim Assad sudah berakhir, sebagian rakyat bergembira, Suriah memasuki babak baru dalam perjalanannya sebagai bangsa dan negara. Namun sebagian rakyat Suriah lainnya, dan juga masyarakat internasional masih diliputi kecemasan akan apa yang akan terjadi setelah Assad pergi.

Suriah masih harus melewati masa transisi kekuasaan yang berbahaya, mengingat beragamnya ideologi dan orientasi politik dalam tubuh oposisi yang sekarang menjadi pengendali negara, dan juga beragamnya etnis dan agama sebagai unsur-unsur yang membentuk bangsa Suriah.

Dalam wawancara dengan CNN pada 6 Desember 2024, dua hari menjelang keberhasilannya menggulingkan Assad, Al-Golani mengatakan bahwa ia akan membentuk sebuah pemerintahan yang berdasarkan konstitusi dan dewan yang dipilih oleh rakyat, serta merangkul semua golongan. Dan hari ini berbagai media mengabarkan terpilihnya Muhammad Al-Bashir sebagai perdana menteri Suriah. Al-Bashir diketahui sebagai pemimpin Pemerintah Penyelamatan, sebuah lembaga bentukan HTS yang menjalankan administrasi pemerintahan di provinsi Idlib.

 

Sementara itu, Pemerintahan baru Suriah belum juga seminggu, Israel telah melancarkan serangan udara ke sejumlah kantong-kantor militer Suriah. Hari-hari ini mata dunia internasional tertuju ke Suriah, berharap negara yang berbagi perbatasan dengan Turki, Irak, Jordan, dan Lebanon itu, berhasil melewati masa peralihan dengan selamat, dan segera terbentuk pemerintahan demokratis yang membawa kesejahteraan dan kedamaian bagi rakyat Suriah, kawasan Timur Tengah, dan dunia. (Ben Shohib & DP)

 

Be First to Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mission News Theme by Compete Themes.