Press "Enter" to skip to content

Ada Bandrek & Bajigur di Manhattan, New York

Campuran antara rasa bangga, penasaran, dan balas dendam yang membuat saya bergegas mandi untuk segera mengunjungi Kopi-Kopi, sebuah café dan restoran khas Indonesia di Manhattan, New York. Saya bangga karena tidak banyak restoran Indonesia di Manhattan. Kalau di kota lain seperti Brooklyn, Los Angeles,  Philadelphia, atau kota lainnya, ada banyak. Saya penasaran karena disebutkan lokasinya berada di  Greenwich Village, sebuah kawasan elite di Manhattan. Balas dendam karena sudah agak lama saya tidak menyantap masakan khas Indonesia.

Pelan-pelan saya susuri 3rd Street sambil menatap satu demi satu nama-nama café di sepanjang jalan itu. Juga melintasi gedung demi gedung New York University (NYU). Benar saja, nyaris di ujung jalan, saya temukan tempat yang saya cari: Kopi-Kopi. Lalu ada semacam signage yang bertuliskan “Indonesian Coffee Bar & Restaurant”.

“Luar biasa, ini kan daerah mahal. Hebat sekali ini,” kata saya dalam hati. Maklum, lokasi café ini persis di depan kampus NYU, di mana  terdapat sekitar  60,000 mahasiswa dari 140 lebih negara belajar di situ. Lalu, tempat ini hanya beda blok dengan café-café ternama lain seperti Cafe Wha, Comedy Cellar, Groove Bar & Grill, dan lain-lain.  

Saya langsung memesan kopi Sumatera. Saya lihat banyak anak-anak muda duduk di berbagai kursi yang ada di bagian depan café ini. Lalu ada bagian tengah dan kemudian bagian belakang yang lebih luas. Untuk ukuran café di Manhattan,  1.600 square feet atau setara 149 meter persegi, sudah cukup untuk dibilang lebih dari lumayan.

Lalu saya amati daftar menunya. Dalam daftar minuman ada Bajigur; Es Jahe; Es Kacang Ijo; Bandrek, dan Kopi Luwak yang dibandrol 25 dollar AS per cangkir. Untuk sarapan ada Ketan Hitam; Kacang Ijo; dan Tahu. Untuk makanan utama ada Rendang Ayam; Nasi Goreng, Mie Goreng, Ayam Bakar Bali, dan lain-lain. Sedangkan hidangan penutupnya ada Pisang Molen; Kelepon; dan lain-lain. Asyik sekali ini.

Pikiran saya langsung melayang, terkenang berbagai jenis makanan di kampung halaman. Selain nikmat, banyak makanan Indonesia punya cerita di baliknya, entah benar atau tidak. Tumpeng, misalnya. Nasi yang dibentuk seperti gunung dan dikelilingi sayuran dan lauk–pauk dan  selalu dihidangkan pada acara syukuran itu ada banyak cerita di dalamnya. Orang Jawa melambangkan gunung  sebagai tempat yang dekat dengan langit dan surga. Bentuk gunungan tumpeng itu juga dipercaya mengandung harapan agar hidup kita semakin naik dan memperoleh kesejahteraan yang tinggi.

Tumpeng juga selalu disertai dengan urap, yang konon  berarti urip (Jawa: hidup), yang melambangkan kemampuan untuk menafkahi keluarga. Sedangkan kangkung melambangkan sifat ulet, teguh, dan pantang menyerah, mengingat sayur ini dapat tumbuh di darat maupun di air. Bayam yang berwarna hijau melambangkan kehidupan yang aman dan damai. Kacang panjang yang disajikan tanpa dipotong melambangkan umur panjang.

Sedangkan ayam yang disajikan utuh merupakan lambang ketenangan hati. Ikan teri melambangkan kebersamaan dan kerukunan. Sementara telur rebus, yang biasanya disajikan bersama kulitnya, melambangkan  bahwa semua tindakan harus direncanakan dan melalui proses, yakni dikupas terlebih dahulu baru kemudian dimakan. Artinya harus dikerjakan sesuai rencana sehingga menghasilkan kesempurnaan. Lalu cabai merah yang diletakkan di ujung tumpeng melambangkan api sebagai sumber penerangan.

Dawet juga ada ceritanya. Pada pernikahan adat Jawa, dawet selalu disajikan sebagai salah satu rangkaian menu. Bentuk cendol yang bulat itu melambangkan kebulatan kehendak orangtua untuk menjodohkan anaknya. Dalam prosesi pernikahan itu biasanya ada orang “berjualan” dawet, di mana para tamu undangan diperkenankan untuk membeli dawet tapi tidak menggunakan uang, melainkan menggunakan kreweng alias koin yang terbuat dari tanah liat, yang melambangkan bahwa kehidupan manusia berasal dari bumi.

Sedangkan redang daging sapi, bagi masyarakat Minang, konon melambangkan kasih sayang orangtua kepada anaknya. Sebab daging berasal dari sapi yang harus dipelihara dengan baik agar menghasilkan daging yang baik pula. Cerita-cerita semacam itu bisa terus diperpanjang. Dan kini sebagian makanan itu ada di Manhattan!

Tak lama kemudian muncul seorang wanita muda yang tampak energik dan ceria. Dia adalah Ibu Liz, demikian para karyawan di situ memanggilnya, yang ternyata adalah pemilik tempat ini. Wanita asal Bogor ini sudah berpuluh tahun menetap di Amerika Serikat. “Sejak lulus dari SMA Regina Pacis,” katanya membuka percakapan dengan saya.

Singkat cerita, setelah mendapat gelar S1 di bidang chemistry and microbiologi, lalu S3 di bidang pharmacology, serta bekerja di beberapa perusahaan, Bu Liz yang bernama lengkap Elizabeth S. Lapadula tersebut mulai tertarik untuk membuka usaha café. “Saya belajar menghidangkan kopi dari Anomali Café di Jakarta dan kemudian di American Barista & Coffee School di Portland, Oregon. Mengenai masakan, kebetulan saya sendiri senang memasak. Visi saya membuka Kopi Kopi ini adalah tiga C: Coffee, Cuisine and Culture. Mengenai lokasi, there’s no better location than in Greenwich Village,”  ujarnya. Maka pada April 2013, bukalah café di tempat yang prestisius ini.

Semua jenis hidangan yang dijual di sini dimasak langsung di tempat dengan bahan asli dari Indonesia. Belinya di mana? “Ada importir di sini, tapi sering saya bawa sendiri dari Indonesia,” jawab Ibu Liz. “Kesulitannya, stock kadang sedikit. Jadi kalau pas ada, saya beli banyak sekalian.” Ibu Liz juga menambahkan bahwa semua masakannya bebas MSG.

“Ada dukungan dari Pemerintah Indonesia?” kata saya bertanya.

“Selama ini tidak ada. Belum,” jawab Ibu Liz, yang saat ini juga menjabat sebagai President American-Indonesian Cultural & Educational Foundation (AICEF). Lembaga ini juga fokus  mempromosikan budaya Indonesian. Di Kopi-Kopi, bisa saja diselenggarakan aneka acara yang berkaitan dengan Indonesia. Mulai dari rapat sampai lokasi promosi yang berhubungan dengan Indonesia. “Kami bisa sediakan proyektor. Bertukar link di website juga bagus,” tambah ibu empat orang anak ini. Dalam waktu dekat, di tempat ini rencananya akan disajikan juga hiburan musik dengan lagu-lagu Indonesia.

Tak terasa dua pisang bakar hasil eksperimen Ibu Liz ludes. Plus nasi campur yang pedasnya benar-benar pas! Tuntas sudah rasa penasaran dan balas dendam saya! (Artikel & Foto: Kemala Atmojo)

SaveSave

SaveSave

SaveSave

SaveSave

SaveSave

Be First to Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Mission News Theme by Compete Themes.