Dua puluh Oktober di mana sumpah telah diucapkan lengkap dengan eforia yang terlanjur dinikmati, terlalu naif kiranya jika kemudian kita sebagai rakyat biasa yang hanya diperlakukan sebagai tubuh politik tidak bermakna harus mengisi takdir demokrasi yang mau tidak mau kita terima itu hanya dengan bergoyang- goyang dan pemujaan berlebihan.
Dalam alam demokrasi, perbedaan pandangan sudah selayaknya dirayakan dan diwajarkan. Pemujaan terhadap pemimpin perlu kita singkirkan karena setiap pemimpin berpotensi menjebak kita pada citra yang berlebihan yang jauh dari subtansi yang seharusnya berdampak pada hidup kita.
Apalagi saat ini politik kita lebih banyak menampilkan dunia “patafisikal”, istilah yang diungkapkan oleh Jean Baudrillard dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1980) yang membuat demokrasi menjadi imagokrasi dimana kekuasaan rakyat tersandera ke dalam “retorika politik “ bukan lagi “kehendak politik”, jika yang pertama terjadi yang kemudian kita rasakan hanyalah “narsisme politik” yang penuh pendangkalan , penyederhaaan, dan pengabaian dari upaya-upaya penyelesaian kenyataan hidup. Boleh-boleh saja kita berterima kasih terhadap pemimpin, namun cobalah pertanyakan sembari menyadari secara kritis ,apa yang telah pemimpin itu lakukan pada negara kita? Mengapreasi pengabdiannya memang perlu dilakukan namun tak lupa untuk tidak abai terhadap berbagai langkah yang tidak pro rakyat.
Di satu sisi gotong royong juga tidak harus bermakna berada dalam satu barisan atas nama persatuan untuk kemajuan yang ending-nya kita jadi membebek tanpa adanya upaya check and balance , apalagi budaya asal bapak senang sudah mendarah daging. seakan-akan ada upaya manufakturasisasi persetujuan yang membentuk opini kita menjadi searah jika berbeda akan dianggap sebagai ancaman persatuan dan penghambat kemajuan. Pemimpin kita yang baru bahkan mewanti-wanti “ kalau tidak ingin terlibat, maka jangan mengganggu “. Diksi jangan mengganggu ini perlu kita maknai sebagai potensi represi dan tone deaf (pengabaian) sekiranya kritik yang kontruktif hanya dipandang sebagai suara-suara rakyat yang sakit hati
karena jagoannya kalah.
Sah-sah saja berharap pada para politisi yang kita anggap akan menjadi oposisi meskipun dalam konteks negara kesatuan adalah suatu kemustahilan membentuk poros oposisi yang kuat, setidaknya hal itu terlihat dari perbandingan antara koalisi pemerintah vs non pemerintah di level parlemen.
Seyogyanya, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi republik, perlu mengambil peran sebagai oposisi alternatif di luar parlemen. Apalagi demokrasi memang menyimpan paradoksnya sendiri, dalam Dissensu: On Politics and Aesthetics (2010), Jacquest Ranciere memperingkatkan tentang kondisi kekuasaan rakyat yang idealnya memiliki kekuasaan itu sebenarnya muram, karena tidak dapat menggunakan kekuasaannya
sebagaimana mestinya.
Bagi – bagi kue kekuasaann yang dilakukan elit pada akhirnya melenyapkan dimensi kekuasaan rakyat , hanya sekedar nrimo dan berpotensi dibungkam jika bertindak sehingga antagonisme yang politis menjadi tabu, begitulah yang dideskripsikan oleh Chantal Moffe, dalam The Return of the Political (1993).
Maka penting bagi segenap Rakyat Indonesia menciptakan konsensus untuk membuat yang disembunyikan nampak, menyuarakan segala yang dibungkam, dan menjadikan etika dan moral sebagai prinsip politik. Apalagi, kekuatan rakyat dalam lintasan sejarah merupakan bentuk demokrasi tandingan sebagaimana tegas Piere Rosanvallon, dalam Counter-Democracy: Inpolitic in Age of Distrust (2008). Menjadi kekuatan tandingan atau oposisi dapat dilakukan oleh siapapun. “Mulailah dari mana kau berada. Gunakan apa yang kau punya. Lakukan apa yang kau bisa.” Begitulah nasehat dari Arthur Ashe. Termasuk dari kalangan diaspora Indonesia di manapun mereka berada.
Berdiaspora Mental Aktifis
Tidak ada data resmi berapa banyak diaspora Indonesia di seluruh dunia, namun satu yang pasti eksistensi diaspora Indonesia, baik yang masih memiliki kewarganegaraan Indonesia ataupun tidak merupakan kekuataan yang potensi dari segi budaya, ekonomi, sosial, apalagi politik.
Perihal yang politik, diaspora Indonesia meskipun tidak signifikan dari segi elektoral tetap menjadi pundi-pundi suara untuk mempertahankan kekuasaan namun di satu sisi peran yang politik di kalangan diaspora Indonesia masih kurang bergema, terlalu miris dan ironis rasanya kalau diaspora justru menjadi sama apalagi apatis. Diperlukan mental aktifis yang berani bersuara, mengorganisir aksi, atau menggaungkan solidaritas dan kajian terhadap isu-isu yang sedang terjadi di dalam negeri.
Mental aktifis berarti menjadi manusia yang merdeka, peduli, dan memiliki empati. Sebagaimana dahulu para diaspora Indonesia di Belanda turut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia begitu pula dengan kita yang menjadi bagian diaspora hari ini dan nanti untuk turut serta memperjuangkan apa yang menjadi cita-cita kemerdekaan.
Menolak menjadi sama dengan mereka yang memuja , terhubung secara aktif dengan sesama orang Indonesia, menyadari koneksi lahir dan batin yang tidak terputus dengan tanah air, dan mengasah objektifitas dalam menilai langkah-langkah pemerintah menjadi empat cara untuk membentuk mental aktifis ketika berdiaspora.
Sekali Lagi Tentang Urgensi
David P. Levine, dalam Politics Without Reason (2008) , politik dibangun dengan dua kekuatan penentu antara nalar dan hasrat. Pada tataran elit kita tentu bisa menebak lebih condong ke arah mana di antara dua kekuataan ini namun di level rakyat, politik harus dibangun melalui kekuatan nalar agar dapat mengkualitaskan politik kita.
Diperlukan kolektifitas untuk membangun narasi dan aksi dari tanah rantau sebagai bentuk mencintai Indonesia dengan sebenar-benarnya dari ruang politik. Raga kita mungkin tidak berpijak di Indonesia namun solidaritas yang kita bangun dari tanah rantau dapat menjadi bagian dari kekuatan sipil yang turut serta menjadi oposisi di luar parlemen.
Lima tahun ke depan tantangan multidimensional akan terus bertambah, berbagai kebijakan pemerintah tentu akan berdampak pada kita yang dirantau ataupun keluarga kita yang masih diIndonesia, kita boleh saja memiliki dorongan untuk “berpindah” sebagai bentuk kemuakan namun selama kita masih memiliki koneksi dengan tanah air melalui ikatan darah, sulit untuk untuk berkata “Apapun yang dilakukan pemerintah ke depan, tidak lagi berdampak pada saya “.
Urgensi membangun kekuatan oposisi rakyat dari kalangan diaspora Indonesia diperlukan untuk terus merawat demokrasi rakyat di tengah krisis moral dan etika yang mungkin akan terulang kedepan.
Menurut teori demokrasi rakyat, demokrasi sejati tidak hanya berada dalam institusi politik formal, tetapi juga dalam keterlibatan langsung rakyat melalui aksi kolektif, termasuk di luar parlemen. Diaspora Indonesia, melalui aksi di luar negeri, dapat memperkuat gerakan demokrasi rakyat dengan memberikan perspektif global, memobilisasi jaringan internasional, dan memanfaatkan kebebasan politik yang ada di negara tempat mereka tinggal untuk mendukung gerakan di tanah air.
Menjadi “mata dan telinga” yang memperkuat barisan, melantangkan suara, dan menjaga api perjuangan rakyat 5 tahun kedepan atau selama kita bernafas sebagai manusia Indonesia menjadi yang harus kita lakukan.
- Mansurni Abadi
Biodata Penulis:
– Lulusan Universiti Kebangsaan Malaysia jurusan Antropologi
– Asisten Riset di Embode International, Malaysia
– Co-founder start-up SaverAsia, yang berfokus pada penguatan literasi finansial di kalangan pekerja migran di Malaysia
– Editor, Nadi Siswa Malaysia (website lokal Malaysia) dan penulis di beberapa website gerakan
Be First to Comment