Lebih dari 4 juta anggota Generasi Z di Amerika Serikat dan sekitar 100.000 anak muda di Inggris kini tergolong dalam kelompok NEET (Not in Education, Employment, or Training), atau tidak bersekolah, tidak bekerja, dan tidak mengikuti pelatihan apa pun. Para pakar menilai fenomena ini bukan disebabkan oleh kemalasan, melainkan kegagalan sistem pendidikan tinggi dalam memenuhi janji kesejahteraan bagi lulusannya.
Seperempat dari populasi Gen Z kini mengalami stagnasi dalam jalur karier mereka. Krisis ini bahkan disebut sebagai sebuah “bencana” oleh sejumlah komentator, termasuk podcaster asal Inggris yang menyoroti disfungsi sistem pendidikan modern.
“Banyak anak muda dikirim ke universitas hanya untuk memperoleh gelar yang tidak berguna bagi masa depan mereka,” kritik Peter Hitchens, komentator politik dan jurnalis senior. “Padahal, mereka bisa saja hidup lebih sejahtera jika memilih jalur magang sebagai tukang ledeng atau teknisi listrik.”
Kritik terhadap Gelar yang Tidak Relevan
Jeff Bulanda, Wakil Presiden organisasi Jobs for the Future, menyatakan bahwa jutaan anak muda merasa tertinggal setiap harinya. “Ini seharusnya menjadi alarm keras bagi institusi pendidikan dan dunia kerja untuk segera bertindak,” ujarnya kepada majalah Fortune.
Meski beberapa bidang studi, seperti kesehatan, masih menjanjikan peluang besar—lebih dari satu juta lapangan kerja di sektor kesehatan diprediksi tercipta dalam satu dekade ke depan di AS—banyak lulusan lain justru tersesat dalam pasar kerja karena gelar yang tidak menjanjikan karier yang jelas.
“Fokus berlebihan pada gelar sarjana empat tahun sebagai satu-satunya jalur menuju kesuksesan harus dikaji ulang,” kata Bulanda. Ia menekankan pentingnya mengevaluasi pilihan pendidikan berdasarkan biaya, kualitas, dan prospek jangka panjangnya.
Universitas Diminta Lebih Transparan
CEO agensi rekrutmen Bentley Lewis, Lewis Maleh, menambahkan bahwa perguruan tinggi harus lebih terbuka dalam memberikan informasi mengenai dunia kerja, termasuk tantangan non-akademik seperti kebutuhan akan dukungan kesehatan mental dan ketahanan diri.
“Universitas mungkin tidak dengan sengaja membuat mahasiswanya gagal, tetapi sistem saat ini telah gagal menepati janji implisitnya: bahwa gelar sarjana otomatis membawa keamanan finansial,” ujar Maleh.
Faktor Ekonomi dan Teknologi
Kondisi ekonomi yang semakin sulit juga memperburuk situasi. Kenaikan biaya sewa, bahan bakar, makanan, dan bahkan buku pelajaran membebani Gen Z. Beberapa lulusan bahkan terpaksa menolak pekerjaan impian karena tak mampu membayar ongkos transportasi atau pakaian kerja.
Sementara itu, pasar kerja yang terus berubah akibat kemajuan teknologi dan kecerdasan buatan membuat para pencari kerja muda kehilangan arah. Tak sedikit yang memilih untuk “doomscrolling” di rumah daripada menghadapi kenyataan yang jauh dari harapan masa kecil mereka.
Solusi: Jalur Alternatif dan Bimbingan Karier
PBB mengingatkan bahwa kesenjangan keterampilan di kalangan anak muda masih sangat tinggi. Solusi yang dapat diterapkan antara lain memperluas akses magang dan pelatihan kerja, serta membangun koneksi yang lebih erat antara dunia pendidikan dan dunia industri.
Namun di atas segalanya, kata Bulanda, yang paling dibutuhkan adalah bimbingan karier yang lebih baik dan personal. “Pertanyaannya bukan lagi mengapa mereka terputus, tetapi mengapa kita belum menyediakan sistem yang mampu mengenali bahwa cara lama sudah tidak lagi relevan. Anak muda membutuhkan lebih banyak pilihan dan dukungan yang sesuai dengan kenyataan hidup mereka saat ini,” tegasnya.
-Tim Lantern-
Be First to Comment