Press "Enter" to skip to content

Perjuangan Ancas Menjaga Marwah Bahasa Biyung

Jumat siang, 16 Mei 2025, suasana hangat terasa di markas Majalah Ancas di Jalan DI Panjaitan, Purwokerto. Seperti bulan-bulan sebelumnya, Ahmad Tohari—sastrawan dan budayawan Banyumas—memimpin rapat redaksi. Bagi para awak Ancas, pertemuan ini bukan sekadar diskusi redaksional. Ini adalah ruang silaturahmi, sekaligus momen menyerap petuah hidup dari sosok yang dijuluki “Ramane Rasus” itu.

Setelah rapat, Tohari yang lahir 13 Juni 1948 itu melepaskan topi pet hitam khasnya untuk berkipas, mengusir panas Purwokerto yang tengah menyengat. Ia lalu memberi isyarat kepada Yusmanto, M.Sn—salah satu redaktur—untuk menembang. Tembang Kembang Glepang berlaras slendro pathet manyura pun mengalun, menutup rapat dengan nuansa batin yang khas.

Dalam tubuh Ancas, dua generasi bersinergi: angkatan sepuh yang menjadi pendiri, dan generasi muda yang setia menjaga api perjuangan. “Kami bertahan bukan karena kuat modal, tapi karena semangat menjaga basane biyung, bahasa Penginyongan,” ujar Tohari. Ia lebih menyukai istilah Penginyongan daripada menyebutnya sebagai dialek Banyumasan.

Dari Kegelisahan Menjadi Gerakan

Ancas pertama kali terbit pada 6 April 2010, lahir dari kegelisahan para tokoh dan budayawan atas tergerusnya kosakata Banyumasan. Jika dibiarkan, punah sudah bahasa ibu ini. Maka, mereka menyepakati satu tujuan (Ancas) mulia: menjaga eksistensi bahasa Penginyongan.

Pendiri Ancas antara lain Ahmad Tohari, wartawan senior Didi Wahyu (alm), dalang Darkam Anom Sugito S. Kar., Bambang S. Purwoko (mantan Kabag Humas Banyumas), dan HM Santosa (mantan Sekda Banyumas, alm). Dukungan juga datang dari Dr. H. Pudjo Sumedi (alm), akademisi yang kala itu menjabat Wakil Rektor UHAMKA dan pernah menjadi Atase Pendidikan di Timur Tengah.

“Inilah ikhtiar kami untuk melestarikan bahasa biyung kita, Basa Penginyongan yang terancam punah,” kata Tohari saat peluncuran Ancas, yang juga didukung Bupati Banyumas saat itu, Mardjoko.

Edisi perdananya tampil memikat dengan sampul gadis meniup canting batik, berisi 36 halaman rubrik yang kaya. Ada Tuladha (tokoh sejarah), Wigati (laporan utama), Suguh (tajuk rencana), hingga Cerkak dan Guritan untuk karya sastra.

Menjangkau Dunia

Pada masa awal di 2010, oplah Ancas menembus 10.000 eksemplar, tersebar di wilayah Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen), serta menjangkau Jakarta, Yogyakarta, Lampung, Bali, Kalimantan, hingga Papua. Uniknya, media cetak lokal ini juga sampai ke Suriname dan Arab Saudi. Salah seorang mahasiswa Indonesia di Riyadh, Samar Solekhan dari Purbalingga menemukan Ancas di perpustakaan kampusnya. Mungkin ini peran Pudjo Sumedi yang pernah menjabat atase Pendidikan Kedubes RI di Timur Tengah. Untuk wilayah Banyumas Raya, Majalah yang terbit bulanan ini banyak beredar di kalangan dunia pendidikan. Tak heran jika Ancas dikenal sebagai majalah pendidikan dan kebudayaan.

Dari Kamus hingga Lomba ‘Nggedebus’

Ancas terus berkembang hingga masa keemasannya pada 2017. Kala itu, ia aktif berkolaborasi dengan Balai Bahasa, pemerintah daerah, dan komunitas lokal. Salah satu capaian pentingnya adalah inisiasi penerbitan ulang Kamus Dialek Banyumas-Indonesia, versi yang lebih lengkap dari edisi terdahulu.

Ancas juga rutin menggelar pelatihan dan lomba literasi: menulis, geguritan, cerkak, dongeng, hingga lomba stand-up comedy Ngapak yang mereka sebut Nggedebus—memadukan humor dengan semangat bahasa ibu.

Kongres Bahasa Penginyongan

Pada 25–27 Oktober 2016, Ancas turut menyukseskan Kongres Bahasa Penginyongan pertama di Baturaden. Diikuti utusan dari Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, Kebumen, hingga Brebes dan Tegal, kongres ini menjadi penanda kebangkitan bahasa ibu yang bermartabat.

Kongres yang didukung Pemda dan tokoh akademisi dari wilayah Barlingmascakeb seolah menjadi ikrar kebangkitan untuk memuliakan Bahasa Banyumasan sebagai bahasa ibu yang bermartabat. Akademisi kelahiran Banyumas seperti Prof DR Teguh Supriyanto M. Hum (guru besar Unnes) dan Prof DR Suminto A. Sayuti (guru besar UNY) banyak menyuarakan orasi dan penyadaran di hadapan para pendidik dan generasi muda akan pentingnya menjaga marwah bahasa ibu dari kepunahan. Jangan malu untuk berbahasa Banyumas, karena bukan hanya trahing kusumo rembesing madu saja yang memiliki keluhuran, namun trahing ngapak rembesing penginyongan juga memiliki derajat yang sama dalam bahasa dan budaya. Begitu kira-kira yang digelorakan para tokoh.

Sayangnya, kongres itu belum berlanjut. Dua penggagas penting—Hadi Supeno (Wabup Banjarnegara) dan Liem Kuswintoro (pengusaha Kebumen)—telah berpulang.

Bertahan dan Terus Bertransformasi

Kini, di tengah gelombang digitalisasi dan menurunnya minat baca cetak, Ancas masih bertahan. Hingga edisi ke-181 (Juni 2025), mereka tetap mencetak 3.000 eksemplar per bulan, didukung pembaca setia. Yusmanto menyebut, Ancas akan terus berinovasi: dari teks literer hingga konten media sosial. “Perjuangan menjaga Bahasa Banyumasan harus lintas medium, dari tulisan hingga lisan,” ujarnya.

Ia mengingatkan, Bahasa Penginyongan yang khas dengan kata “inyong” kini semakin terdesak, bahkan oleh Bahasa Jawa versi formal. Padahal, bahasa ini sudah ada sejak abad ke-7.

“Jangan hanya lihat kami sebagai majalah bulanan. Kami ini juga rumah bagi lomba, seminar, pelatihan, dan gerakan budaya. Ke depan, kami ingin lebih menjangkau generasi muda, karena mereka lah penjaga basa biyung selanjutnya.”

Jangan Malu Bicara Ngapak

Ancas hari ini adalah satu-satunya majalah cetak yang masih setia menulis dalam Bahasa Banyumasan. Ia bukan sekadar media, tapi juga simbol perlawanan terhadap arus pelupaan. Kini saatnya generasi muda menyadari: jika mereka tak menjaga Basa Penginyongan, maka jati diri ‘trahing ngapak rembesing penginyongan’ bisa lenyap ditelan zaman.

Jadi, jangan malu menyapa dengan “Inyong–Rika.” Jangan gengsi bicara ngapak. Ora Ngapak, Dhupak!

– Muji Prasetyo / Toni Riya Mukti –

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mission News Theme by Compete Themes.