Press "Enter" to skip to content

Mengatasi Krisis Iklim, Belajar dari Perempuan Wakatobi

Wakatobi adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara, Indonesia, yang terkenal dengan keindahan alam bawah lautnya, hampir semua penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Jika iklim normal, biasanya para perempuan Wakatobi yang ditinggal suaminya melaut, mencari ikan di perairan dangkal. Tapi ketika iklim tak lagi normal, ikan-ikan di perairan dangkal itu berkurang.

Mengatasi alam yang tak tentu petanya itu, untuk bertahan hidup selama ditinggal suami melaut, para perempuan Wakatobi membudidayakan ikan sehingga menjadi produk yang lebih mudah dijual. Begitu disebutkan Visna Vulovik, nara sumber Monthly Talk Women Empowerment Center (WEC) yang digelar Iluni Universitas Indonesia, Jumat 27 September 2024.
“Misalnya mereka membuat kripik ikan, abon ikan, terus diberi kemasan yang bagus,” ujar Visna yang dikenal sebagai Ketua WEC ILUNI UI.

Credit photo: HUMAS UI

Yang menarik, lanjut alumni UI ini, bahwa meski di antara mereka sudah melakukan produksi secara industri, tapi mereka tetap menghormati kearifan lokal yang selama ini dianut. Yaitu hanya mengambil dan memasarkan ikan yang sedang musim di daerah mereka. Musim ikan tuna, maka hanya ikan tuna yang dijual. “Mereka tidak serakah,” lanjut sosok yang juga dikenal sebagai konsultan Women Peace and Security ini.

Kepedulian mereka terhadap kearifan lokal juga dicerminkan dengan gerakan membersihkan pantai dari sampah plastik yang menggunung. Sayangnya saat itu, menurut Visna, belum ada mesin yang bisa mengolah sampah plastik yang terkumpul. “Tapi, inisiasi agar sampah tidak menumpuk di pinggir pantai, itu harus diberi apresiasi.”

Seperti para perempuan yang tinggal di daerah pesisir, perempuan Wakatobi jadi salah satu populasi yang menghadapi risiko dan ancaman dari krisis iklim. Dampaknya ini, menurut Visna berkaitan satu sama lain. Sumber makanan (ikan) yang berkurang, pertanian yang gagal, misalnya membuat para perempuan berisiko lebih tinggi meninggal saat melahirkan. Juga berpeluang lebih tinggi mengalami kekerasan gender, hingga kehilangan tempat tinggal akibat bencana.

Sekarang ini, menurut Visna, dampak yang terjadi pada perempuan, ada penambahan 247 juta perempuan dan anak perempuan, dibanding 130 juta pada laki-laki. Sementara itu, Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N. Rosaline seperti dikutip antara.com belum lama ini, juga menyebut bahwa perempuan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim.   

“Perubahan iklim itu tidak netral gender. Perempuan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim karena adanya peran tradisional gender. Perempuan seringkali masih diharapkan untuk menjalankan peran-peran tradisional seperti mengurus rumah tangga, merawat anak, dan mengelola sumber daya alam,” kata Lenny.

Credit photo: Festival Wowine 2024

Visna sendiri saat berkunjung ke Wakatobi, bersama team-nya menggelar berbagai edukasi. Misalnya berpartisipasi dalam Festival Wowine 2024 di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Dalam acara yang bertema “Harmoni Perempuan Maritim”, itu mereka memberikan pembelajaran preventif dini. Misalnya, banjir rob yang terjadi karena krisis iklim di Wakatobi, membuat air tawar dan air laut bercampur. Agar tak memberikan dampak negatif pada masyarakat tersebut, Visna dan team menganjurkan mereka untuk pindah ke tempat yang lebih tinggi.

Selanjutnya terkait dalam mengelola sampah. Para perempuan itu diedukasi cara memilah sampah. Dengan memilah sampah, diharapkan ada banyak hal yang diuntungkan. Misalnya, pemisahan sampah organik, yang bisa dikelola menjadi pupuk organik. Sehingga bisa berguna untuk tanaman sayuran di halaman mereka. Kemudian, lanjut Visna, para perempuan itu juga dianjurkan untuk mengurangi bungkus makanan dengan plastik, sehingga sampah plastik berkurang.

Visna dan kawan-kawan juga, melakukan pemeriksaan kesehatan pada perempuan dan anak-anak untuk mencegah stunting. “Wanita yang hamil muda diusahakan mendapat edukasi tentang gizi bagus, sehingga kelak melahirkan bayi sehat,” ujarnya pada acara daring sore Jumat itu. Pun, para perempuan yang masih belum memiliki usaha, diberikan alternatif usaha baru untuk menambah penghasilannya, sehingga mereka aman, ketika suaminya berlayar.

Dalam acara tersebut, moderator Ns. Suryani Hartati, alumni UI yang juga aktif di WEC, sekaligus Dosen Inkes Hermina, melontarkan pertanyaan mengapa memilih Wakatobi?

Wakatobi menjadi pilihan, menurut Visna, karena daerah tersebut pernah menjadi destinasi pariwisata prioritas. Tapi setelah pandemic Covid terjadi, tak ada lagi pesawat yang langsung menuju Wakatobi. “ Saya harus menghabiskan waktu 12 jam dari Jakarta ke Wakatobi,” ujar Visna berkisah. Katanya, setelah mendarat di Makasar, dia harus melanjutkan perjalanan menggunakan pesawat capung (12 penumpang) ke Bau-bau. Dilanjutkan lagi perjalanan darat sekitar dua jam dengan kondisi jalan tak semulus jalan tol, menuju pelabuhan kecil (konon banyak buayanya), kemudian naik boat selama 40 menit menuju Wakatobi. “Aksesnya sulit sekali. Bagaimana para perempuan Wakatobi itu akan menjual ikan keringnya ke luar pulau? Transitnya akan banyak sekali,” Ujar Visna.

Salah seorang peserta daring, Asrif, berkomentar, para perempuan Wakatobi itu kreatif, tapi tantangannya adalah pemasarannya, karena akses transportasinya terbatas. Karenanya, tak heran jika banyak perempuan Wakatobi yang bekerja di luar pulau.

Kehadiran Visna dan team-nya, jelas bisa menjadi penyemangat agar para perempuan di Wakatobi itu tetap semangat berkarya di daerahnya. Meski krisis iklim, mungkin tidak terlalu parah, udara masih di angka 9 (hijau) artinya masih bagus. Tapi, dalam beberapa bulan terakhir, menurut Visna, kurva panas di Wakatobi terus naik. Jadi program pencegahan sangat penting untuk menghadapi paparan krisis iklim yang mungkin bakal terus menghantam masyarakat, terutama di daerah pesisir.

Tapi Visna yakin, perempuan Wakatobi bakal mampu bertahan terus. “Perempuan maritim itu sangat kuat. Karena mereka hidup dalam lingkungan keras karena alam. Misalnya saat badai, mereka harus segera melindungi keluarganya. Belum lagi dalam menghadapi hubungan LDR dengan suami mereka,” ujarnya panjang lebar.

Lebih jauh, Ketua Tim Penggerak PKK Wakatobi Eliati Heliana, dalam acara Festival Wowine 2024, menyebut bahwa ketangguhan perempuan Wakatobi telah diwariskan sejak era Kesultanan Buton. “Perempuan Wakatobi memiliki keteladanan dari figur bersejarah seperti Wa Kaa Kaa dan Wa Ode Wakelu, yang menjadi simbol emansipasi dan kekuatan,” ujarnya. (Catatan: Wa Ode Wakelu adalah permaisuri Raja Muna XII La Ode Ngkadiri, sementara Wa Kaa Kaa adalah raja pertama Kerajaan Buton yang parasnya cantik sekali)


Tapi, manusia itu mahluk sosial. “Jadi sekuat-kuatnya perempuan, tetap butuh dukungan dari lingkungannya. Suami, anak-anak, keluarga, juga pemerintah,” kata Visna tegas.
Menutup paparannya, Visna menyebut bahwa krisis iklim pekerjaan kita semua. Semakin tua bumi, semakin butuh tangan untuk lebih bijaksana dalam berperilaku. Mulai dari hal kecil dari keluarga sendiri.

Dengan sentuhan jari sendiri, kita akan bisa mengubah mindset kita dalam merawat bumi. Yaitu, lebih bijak dalam berperilaku mengelola lingkungan sendiri, sehingga bisa memberi sumbangsih positif pada bumi ini.

(Penulis : Susandijani)

Be First to Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mission News Theme by Compete Themes.